
Ogah Beli IPO GoTo, Lo Kheng Hong Sebut Bank Jago-Tesla Mahal

Jakarta, CNBC Indonesia - Investor saham ritel paling sukses di Tanah Air yakni Lo Kheng Hong menyebutkan dirinya tidak tertarik untuk membeli saham-saham dari perusahaan teknologi yang akan melantai di bursa saham RI, termasuk sejumlah perusahaan teknologi semacam GoTo, Traveloka, Bukalapak, dan sebagainya.
Pemilik saham PT Petrosea Tbk (PTRO), PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk (MBSS), PT Global Mediacom Tbk (BMTR), dan PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) ini mengatakan alasannya karena valuasi perusahaan teknologi dinilai sangat tinggi.
Valuasi itu tidak sejalan dengan kinerja perusahaan yang masih merugi. Valuasi itu tergambar dari price to book value (PBV) dan price to earnings ratio (PER).
PBV adalah metode valuasi yang membandingkan nilai buku suatu emiten dengan harga pasarnya. Semakin rendah PBV biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.
Sedangkan PER juga merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.
Pria yang dijuluki Warren Buffett Indonesia ini bahkan memberi contoh dua emiten saham teknologi yang sedang naik daun, yaitu PT Bank Jago Tbk. (ARTO) milik Grup Northstar, Gojek, dan kelompok bisnis Jerry Ng, serta saham Tesla Inc. milik salah satu orang terkaya di dunia. Elon Musk.
Dalam video yang diunggah dalam akun Instagram @lukas_setiaatmaja, Lo Kheng Hong memaparkan bahwa dia adalah seorang investor yang konservatif dan masih melihat kinerja fundamental perusahaan sebagai landasannya untuk berinvestasi.
"Mana mungkin saya beli perusahaan teknologi yang valuasinya bisa 10 kali nilai buku, perusahaan masih rugi, untungnya masih negatif. Seperti Bank Jago [saham ARTO], perusahaan digital, mungkin PBV (price to book value) 90 kali. Saya ga ngikutin, masih rugi, aset juga masih Rp 1 triliun lebih ya ga mungkin saya membeli," kata dia dalam video tersebut, dikutip Rabu (19/5/2021).
Mengacu data Bursa Efek Indonesia, saham ARTO memang tengah diburu investor lantaran diprediksi bahal meraup keuntungan lewat ekosistem yang terbangun hasil merger Gojek dan Tokopedia dengan nama entitas induk yakni GoTo Group.
Gojek melalui PT Dompet Karya Anak Bangsa atau GoPay memiliki 21,04% saham ARTO per 30 April 2021. Selain itu, Gojek melalui PT Pradipa Darpa Bangsa memiliki 4,76 persen saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) atau emiten pengelola Hypermart.
Bank Jago sebetulnya masih membukukan rugi sampai dengan kuartal I/2021 yakni sebesar Rp 38,13 miliar, rugi yang dialami perseroan sejak 2015. Namun pada tahun ini, manajemen menargetkan perseroan dapat mencetak laba bersih sebesar Rp 50 miliar.
Data BEI menunjukkan, saham ARTO ditutup di sesi I, Rabu ini (19/5), minus 3,78% di Rp 10.175/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 141 triliun. Dalam 3 bulan terakhir sahamnya melesat 70% dan year to date naik 162%.
Rasio PBV Bank Jago sudah mencapai 17,31 kali, melebihi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) 4,38 kali dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), 2,41 kali.
"Saya seorang investor yang konservatif, saya ga mau liat kinerjanya yang berlebihan di masa yang akan datang, jadi saya mau liat labanya dulu, tunjukin ke saya. Kalau sudah labanya besar harganya murah baru saya beli," terang pemilik saham PT Clipan Finance Indonesia Tbk (CFIN) ini.
Dia mengungkapkan bahwa perusahaan dengan valuasi yang besar itu malah justru membuat masa untuk mencapai periode break even point (BEP) semakin lama.
Contohnya saja saham Tesla yang saat ini memiliki price to earning (PER) 1.000 kali, artinya baru akan mencapai BEP dalam 10 abad ke depan.
"Saham teknologi itu buat fund manager karena mereka kelola uang orang lain, bukan uang orang sendiri, kalau rugi pun ga apa-apa, mereka tetap untung," imbuh dia.
Belum lagi dia menyinggung bahwa dirinya bukan orang yang melek teknologi, bahkan dia tidak bisa melakukan aktivitas dengan komputer tanpa bantuan dari orang lain.
Selain itu, selama 20 tahun terakhir juga sudah tidak lagi membeli saham-saham yang baru melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) lantaran saham IPO ini dinilai mahal.
"Yang pertama saya sudah tidak membeli saham IPO 20 tahun lebih, karena tidak mungkin pemilik perusahaan dan penjamin emisi mau menjual di harga undervalue, harga murah. Pasti mereka mau menjual harga IPO semahal-mahalnya," terangnya.
Sejak tahun lalu, saham produsen mobil listrik global besutan Elon Musk yaitu Tesla Inc (TSLA) memang menjadi perbincangan hangat. Nilai kapitalisasi pasar Tesla meroket lebih dari 700% dan sempat membuat sang CEO menjadi orang terkaya nomor wahid di dunia menggeser Jeff Bezos bos Amazon.
Data CNBC menunjukkan, saham TSLA diperdagangkan di US$ 577,87/saham, naik 0,18% pada penutupan Selasa kemarin waktu AS di Bursa Nasdaq. Secara year to date sahamnya masih minus 18,11% dengan kapitalisasi pasar tembus US$ 547,76 miliar atau setara Rp 7.832 triliun (kurs Rp 14.300/US$).
Dalam sebuah kesempatan LKH bahkan membandingkan laba perusahaan nasional dengan Tesla. LKH mencontohkan laba bersih PT Astra Internasional Tbk (ASII) yang mencapai US$ 1,29 miliar.
Laba bersih ASII 60% lebih besar dari Tesla di saat nilai kapitalisasi pasar ASII hanya 2,4% Tesla. Atas dasar tersebut LKH mempertanyakan sikap investor yang mengagung-agungkan Tesla.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ogah Beli GoTo, Tesla & Bank Jago, Ini 5 Alasan Lo Kheng Hong
