Market Cap BCA Naik Rp 10 T, Unilever Bangkit Salip Astra

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
17 May 2021 11:47
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Cuti bersama dan hari raya Idul Fitri 1442 H membuat perdagangan menjadi lebih singkat. Setelah hari Selasa, perdagangan 'bablas' libur hingga akhir pekan. Dalam waktu yang singkat apresiasi yang terjadi sekilas terlihat menarik.

Namun seharusnya libur yang panjang harus diwaspadai. Apalagi jika dilihat sepekan terakhir aset-aset keuangan dan berisiko global juga kurang bergairah.

Di kawasan Asia, mayoritas bursa saham melemah. Indeks Nikkei Jepang merosot 4,34%, Hang Seng Hong Kong melemah 2,04%, Straits Times Index (STI) Singapura terkoreksi 3,72%, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 1,37%.

Hanya bursa saham China yang 'tahan banting'. Indeks Shanghai Composite berhasil melesat 2,09% sepanjang pekan lalu.

Adapun untuk bursa saham Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu juga terpantau kompak melemah. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 1,14%, S&P 500 merosot 1,39%, dan Nasdaq Composite terkoreksi 2,34%.

Pelemahan bursa Asia dan AS pada pekan lalu sepertinya diakibatkan oleh kekhawatiran investor akan naiknya inflasi AS yang dapat merubah kebijakan suku bunga rendah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed). Sebab, salah satu indikator ekonomi yang dijadikan acuan The Fed untuk menerapkan kebijakan moneter yakni Indeks Harga Konsumen (IHK), melesat tajam.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan Indeks Harga Konsumen (IHK) bulan April melesat atau mengalami inflasi 4,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Rilis tersebut jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei Dow Jones sebesar 3,6%.

Sementara dari bulan Maret atau secara month-to-month (mtm) tumbuh 0,8%, juga jauh lebih tinggi dari survei 0,2%.

Sementara inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 3% yoy dan 0,9% mtm, lebih dari dari ekspektasi 2,3% yoy dan 0,3% mtm.

Kenaikan inflasi secara tahunan tersebut merupakan yang tertinggi sejak tahun 2008, sementara secara bulanan terbesar dalam 40 tahun terakhir.

The Fed sebenarnya menggunakan inflasi berdasarkan Personal Consumption Expenditure (PCE) sebagai acuan, meski demikian inflasi IHK yang tinggi juga bisa menjadi indikasi inflasi PCE akan melesat.

The Fed menetapkan target inflasi rata-rata 2%, jika dalam beberapa bulan ke depan inflasi konsisten di atas target tersebut, bukan tidak mungkin The Fed dalam waktu dekat mempertimbangkan mengurangi nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan istilah tapering.

QE yang digelontorkan senilai US$ 120 miliar per bulan sejak Maret 2020 merupakan salah satu alasan bursa saham dunia mampu bangkit dari keterpurukan saat mengalami aksi jual di bulan yang sama tahun lalu.

Alhasil, jika QE dikurangi atau munculnya ekspektasi tapering maka pasar saham merespon negatif.

Dibalik kekhawatiran pasar akan inflasi AS yang meninggi, sentimen positif dari Negeri Paman Sam juga hadir di pasar pada pekan lalu. Sentimen tersebut yakni kebijakan tak wajib memakai masker bagi orang-orang yang sudah divaksin corona (Covid-19).

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control/CDC) menghapus persyaratan masker untuk orang-orang yang sudah menerima vaksinasi Covid-19 secara penuh atau berada pada jarak 1,8 meter atau 6 kaki.

Ketentuan ini berlaku baik di dalam maupun luar ruangan, seperti yang disampaikan oleh CDC dalam panduan kesehatan masyarakat yang diperbarui yang dirilis Kamis (13/5/2021) pekan lalu.

Dalam panduan tersebut, ada beberapa contoh di mana orang masih perlu memakai masker, di tempat perawatan kesehatan atau di bisnis yang memerlukannya. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang yang sudah mendapatkan dosis vaksin terakhirnya dua minggu atau lebih, diperkenankan tidak menggunakan masker.

Kebijakan terbaru dari pemerintah AS tersebut memicu optimisme pelaku pasar akan semakin membaiknya perekonomian negeri Paman Sam. Bahkan banyak ekonom, termasuk bank sentral AS (The Fed) memperkirakan produk domestik bruto (PDB) di tahun ini akan menjadi yang terbaik sejak tahun 1984.

Bangkitnya AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tentunya dapat mengerek PDB negara lain termasuk di Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular