Jakarta, CNBC Indonesia - Lazimnya, kinerja harga suatu saham beriringan dengan kinerja keuangan perusahaan. Apabila suatu emiten kinerja keuangannya oke, biasanya akan berimbas pula pada kinerja sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI). Begitu pula sebaliknya.
Namun, dalam kasus-kasus tertentu sering juga terjadi orang-orang tetap masuk ke suatu saham yang kinerja keuangannya sedang tertekan. Malahan, ada juga satu saham yang emitennya sudah 12 tahun beruntun mengalami rugi bersih, tapi sahamnya terus merangsek naik.
Lantas apa saja saham-saham yang dimaksud di atas?
Kemudian bagaimana kinerja keuangan emiten-emiten tersebut pada tahun lalu?
Menurut penelusuran cepat Tim Riset CNBC Indonesia, setidaknya ada empat emiten yang sahamnya cenderung melaju kencang tanpa mempedulikan kinerja keuangan perusahaan.
Keempat saham emiten tersebut ialah emiten pengelola gerai Hypermart milik Grup Lippo PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), anak usaha emiten ritel telepon seluler (ponsel) Trikomsel Oke (TRIO) PT Global Teleshop Tbk (GLOB).
Kemudian, emiten telekomunikasi Grup Sinarmas PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) dan emiten media Grup Bakrie PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).
Di bawah ini Tim Riset CNBC Indonesia menyajikan tabel harga saham per Rabu lalu (28/4), dan akan membahas secara ringkas kinerja keuangan emiten yang dimaksud.
Apabila menilik tabel di atas, saham emiten ritel Grup Lippo, MPPA, menjadi 'pemuncak klasemen' dengan kenaikan harga saham yang luar biasa, baik dalam sebulan maupun year to date (Ytd).
MPPA melaju kencang sebesar 235,94% dalam sebulan terakhir. Sementara, sejak awal tahun saham emiten yang juga mengelola gerai Primo dan Foodmart ini meroket 719,05%.
Contoh lainnya, saham emiten ritel ponsel GLOB. Saham GLOB sebenarnya ambles 20,83% dalam kurun sebulan belakangan. Tapi, apabila melihat secara Ytd saham GLOB sudah melejit 144,04%.
NEXT: Separah Apa Kinerjanya?
Mengenai kinerja keuangan, kinerja Matahari Putra Prima atau MPPA dalam 4 tahun belakangan tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Pasalnya, sejak 2017 MPPA terus mengalami rugi bersih.
Terbaru, pengelola Hypermart ini membukukan rugi bersih Rp 405,31 miliar pada 2020. Angka ini berkurang 27% dari rugi bersih tahun sebelumnya yang sebesar Rp 552,68 miliar.
Adapun pada 2018 MPPA juga mencatatkan rugi, yakni sebesar Rp 898,27 miliar, sementara tahun 2017 emiten ini menanggung rugi Rp 1,24 triliun. Pendapatan usaha MPPA pun menyusut dari Rp 8,64 triliun pada 2019 menjadi Rp 6,75 triliun pada tahun lalu.
GLOB Merana Lagi
Selanjutnya GLOB, yang kembali mengalami rugi pada 2020. Pendapatan GLOB sepanjang tahun lalu ambles 87,14% menjadi Rp 30,67 miliar. Adapun rugi bersih tercatat semakin dalam, yakni menjadi Rp 50,61 miliar, dari Rp 39,73 miliar pada akhir 2019.
Bahkan, seiring merosotnya pendapatan dari penjualan ponsel dan voucher serta kartu perdana, sejak paruh pertama tahun lalu GLOB telah mengalihkan pengelolaan bisnis utamanya di bidang ritel ponsel ke sister company, PT Trio Distribusi.
Sejurus dengan itu, emiten anak usaha Trikomsel Oke ini perlahan 'banting setir' alias memperluas diversifikasi produk ke bisnis gaya hidup, seperti penjualan sneaker, mesin dan peralatan kopi, minuman herbal dan jual-beli tas bekas bermerek terkenal.
Perubahan strategi bisnis tersebut bisa dilihat dari pos pendapatan tahun lalu dari penjualan mesin dan peralatan kopi yang senilai Rp 9,38 miliar dan penjualan biji kopi sebesar Rp 167,35 juta. Pada tahun sebelumnya, pendapatan ini tidak ada di laporan keuangan.
Smarfren 12 Tahun Berkubang di Lembah Kerugian
Hal yang sama juga terjadi pada emiten halo-halo Grup Sinarmas, Smartfren atawa FREN. Bahkan, bisa dikatakan kondisi keuangan FREN paling 'berdarah-darah' dibandingkan yang lainnya.
FREN membukukan kerugian bersih Rp 1,52 triliun sepanjang tahun 2020.
Mengacu laporan keuangan yang dipublikasikan Smartfren, Kamis (4/3), perolehan kerugian bersih tersebut sedikit membaik dari tahun 2019 yakni sebesar Rp 2,18 triliun. Praktis, sudah 12 tahun atau sejak 2008, FREN tak pernah mencatatkan "angka biru" pada kinerja laba bersih.
Padahal sepanjang tahun lalu, FREN ini mencatatkan pendapatan usaha senilai Rp 9,40 triliun, meningkat 34,63% dibanding tahun 2019 sebesar Rp 6,98 triliun.
VIVA 3 Tahun Buntung
Emiten media Grup Bakrie VIVA pun kembali merugi sepanjang tahun lalu. Ini tahun ketiga atau sejak 2018 induk ANTV ini menanggung kerugian.
Pendapatan VIVA tahun lalu ambles 13% menjadi Rp 1,83 triliun. Sementara, rugi bersih VIVA semakin membesar dari Rp 550,83 miliar pada akhir Desember 2019, menjadi Rp 817,99 miliar pada tahun lalu.
Bahkan, pada 2018 VIVA merugi hingga Rp 1,01 triliun. Ini adalah kerugian terbesar perusahaan setidaknya dalam 12 tahun terakhir.
Tampaknya, saham-saham tersebut menjadi favorit para trader saham atau orang yang berinvestasi dengan mencari keuntungan dalam jangka pendek, yang tak selalu memerhatikan fundamental suatu emiten.
Dalam hal ini, trader selalu meraup cuan dari capital gain atau selisih harga saham yang dijual dengan yang dibeli.
Kendati tampaknya harga saham-saham tersebut saat ini tidak mencerminkan kinerja keuangan emiten, tidak menutup kemungkinan pula bahwa di masa yang akan datang, emiten-emiten di atas memiliki fundamental yang prospektif seiring strategi bisnis yang diambil oleh manajemen.
TIM RISET CNBC INDONESIA