Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah berhasil memanfaatkan tren pelemaha dolar AS yang masih saja terjadi.
Pada Senin (26/4/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.500 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Sepanjang minggu kemarin, rupiah menguat 0,27% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Ini menjadi penguatan mingguan pertama setelah mata uang Tanah Air gagal menguat selama sembilan pekan berturut-turut. Perinciannya, delapan kali melemah dan sekali stagnan.
Oleh karena itu, pasti akan tiba saatnya investor menilai rupiah sudah terlalu 'murah'. Bayangkan saja, pada pekan kedua Februari 2021 rupiah masih di bawah Rp 14.000/US$. Sembilan pekan kemudian, mata uang Merah Putih sudah di atas Rp 14.500/US$.
Rupiah pun sangat mungkin untuk membukukan technical rebound. Aset-aset berbasis rupiah kini sudah terdiskon besar-besaran, sehingga menarik untuk dikoleksi. Ketika aksi borong terjadi, maka rupiah niscaya akan menguat.
Halaman Selanjutnya --> Dolar AS Masih Melemah
Kebetulan 'cuaca' di luar juga sedang bagus. Tren pelemahan dolar AS masih terjadi dan rupiah jadi punya ruang untuk 'menyalip.
Pada pukul 07:40 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,03%. Sejak awal bulan ini, Dollar Index merosot lebih dari 2,5%.
Sepertinya investor sangat menanti rapat bulanan bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) yang berlangsung pekan ini. Mengutip CME FedWatch, Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kawan-kawan diperkirakan masih mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. Peluangnya adalah 97,2%.
 Sumber: CME FedWatch |
Akan tetapi, investor ingin mengetahui lebih dalam 'suasana kebatinan' dalam rapat tersebut. Pelaku pasar ingin mencari petunjuk (baik tersurat maupun tersirat) mengenai pandangan The Fed terhadap pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam yang semakin hari semakin terlihat nyata.
Akhir pekan lalu, ada data ekonomi memberi konfirmasi tersebut. IHS Markit melaporkan pembacaan awal (flash reading) terhadap Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS untuk periode April 2021 adalah 60,6. Ini adalah rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai pada Mei 2007.
"Perekonomian AS menjalani awal yang kuat memasuki kuartal II-2021. Kapasitas produksi semakin meningkat seiring pelonggaran pembatasan aktivitas masyarakat akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covd-19). Vaksinasi yang semakin masif dan stimulus fiskal akan membuat prospek ekonomi AS menjadi cerah, ini tentu meningkatkan permintaan," papar Chris Williamson, Chief Business Economist IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Permintaan yang mulai terdongkrak belum diimbangi oleh ketersediaan tenaga kerja karena bagaimana pun masih ada pembatasan aktivitas di pabrik maupun hambatan dalam mendatangkan bahan baku. Akibatnya, harga barang input maupun di tingkat konsumen bergerak naik alias terjadi tekanan inflasi.
Apabila situasi ini terus terjadi, maka bukan tidak mungkin laju inflasi AS bakal stabil di atas target 2% yang ditetapkan The Fed. Kalau laju inflasi yang tinggi dan berkelanjutan sudah terkonfirmasi, maka rasanya The Fed tidak punya pilihan lain. Kebijakan moneter harus diketatkan, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan.
Nah, petunjuk soal arah kebijakan moneter ke depan seperti ini yang dinanti oleh pelaku pasar. Sebelum ada pernyataan resmi dari Powell, semua masih meraba-raba, masih sangat tidak pasti.
Penantian ini membuat investor memilih untuk menghindari dolar AS, karena ada masih ada kemungkinan (dan cukup besar) The Fed tetap mempertahankan kebijakan moneter ultra-longgar untuk beberapa waktu ke depan. Arus modal yang menjauh dari dolar AS kemudian hinggap ke berbagai negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia. Ini yang menjadi 'doping' bagi keperkasaan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA