Sentimen Pasar Pekan Depan

Kawal Rapat The Fed sampai Rilis Data PDB, Bakal Hectic nih!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 April 2021 14:39
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan depan rasanya akan menjadi periode yang melelahkan buat pelaku pasar. Banyak hal yang harus dipantau dan dicermati karena akan menjadi sentimen penggerak pasar.

Pekan ini, sentimen yang beredar di pasar agak mixed. Di satu sisi ada kabar baik, tetapi di sisi lain ada hal yang patut diwaspadai. Ini membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah sementara nilai tukar rupiah terapresiasi tetapi terbatas.

Sepanjang pekan ini, IHSG melemah 1,14% secara point-to-point. Sementara rupiah menguat tipis 0,2% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).

Sentimen positif yang menaungi pasar pekan ini adalah tren penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang masih berlanjut. Selama minggu ini, imbal hasil US Treasury Bonds seri acuan tenor 10 tahun turun tipis 0,6 basis poin (bps) secara point-to-point.

Pada akhir bulan lalu, yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden untuk tenor 10 tahun mencapai lebih dari 1,7%, tertinggi sejak Januari 2020. Namun selepas itu yield dalam tren turun dan saat ini berada di kisaran 1,5%.

Penurunan yield berarti cuan yang diberikan instrumen ini berkurang. Investor pun kembali berani memburu aset-aset berisiko yang menjanjikan keuntungan lebih besar.

Dolar AS, yang berstatus sebagai aset aman (safe haven), kekurangan peminat. Dalam sepekan ini, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,76%.

Namun ada sentimen lain yang menjadi pemberat yaitu perkembangan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), terutama di India. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, jumlah pasien positif corona di Negeri Bollywood per 23 April 2021 mencapai 16.263.695 orang. Bertambah 332.730 orang dibandingkan sehari sebelumnya, rekor penambahan kasus harian tertinggi sejak virus corona mewabah di negara tersebut.

Dalam 14 hari terakhir (10-23 April 2021), rata-rata penambahan pasien baru adalah 228.797 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 86.706 orang setiap harinya.

India menjadi penting karena merupakan salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Pada 2020, nilai output ekonomi India adalah US$ 2,59 triliun, berada di peringkat enam dunia.

Di level Asia, India pun masuk papan atas. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Anak Benua hanya kalah dari China dan Jepang.

Ketika India terpaksa 'digembok' untuk meredam penyebaran virus corona, maka aktivitas dan mobilitas masyarakat akan sangat terbatas. Ini tentu membuat prospek perekonomian India jadi samar-samar, risiko ke bawah (downside risk) sangat tinggi.

Dengan status sebagai kekuatan ekonomi terbesar keenam dunia dan ketiga Asia, derita India tentu akan berdampak ke negara-negara lain. Minimal ekspor ke India bakal sulit karena permintaan pasti anjlok. So, India kemungkinan dapat menyeret perekonomian dunia menjadi tumbuh lebih rendah.

Halaman Selanjutnya --> Pantau 'Suasana Kebatinan' Rapat The Fed

Untuk pekan depan, investor patut memonitor perkembangan di Wall Street. Sebab, gerak bursa saham New York akan mempengaruhi dinamika di pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia.

Pekan depan, sejumlah emiten kelas 'paus' di Wall Street bakal mengumumkan laporan keuangan periode kuartal I-2021. Beberapa di antaranya adalah emiten-emiten teknologi seperti Apple, Facebook, Microsoft, Alphabet (induk usaha Google), dan Amazon.

Apabila kinerja keuangan emiten-emiten itu bagus, maka investor akan memberikan apresiasi. Sahamnya akan diborong dan harganya naik. Kenaikan harga saham teknologi bisa memberi dorongan kepada Wall Street secara keseluruhan.

"Sekarang harga aset di pasar sudah mahal. Investor tentu akan mencari saham-saham yang masih punya potensi naik," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berkedudukan di Virginia (AS), seperti dikutip dari Reuters.

Sentimen kedua, masih dari AS, Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) akan menggelar rapat bulanan yang keputusannya akan dibacakan pada Kamis dini hari waktu Indonesia.

Pelaku pasar memperkiraka Ketua Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan mempertahankan suku bunga acuan di 0-0,25%. Mengutip CME FedWatch, peluangnya adalah 95,6%. Probabilitas kenaikan 25 bps ke 0,25-0,5% hanya 4,4%.

fedSumber: CME FedWatch

Investor patut mencermati bagaimana posisi The Fed terhadap laju inflasi di Negeri Paman Sam yang semakin cepat. Pada Maret 2021, inflasi AS tecatat 0,6% secara bulanan (month-on-month), tertinggi sejak 2012. Sementara inflasi tahunan (year-on-year) berasa di 2,6%.

Jika ada kalimat (baik tersirat maupun tersurat) bahwa The Fed mulai mewaspadai percepatan laju inflasi, maka ekspektasi pasar terhadap kenaikan suku bunga acuan bakal semakin besar. Bukan tidak mungkin Federal Funds Rate bakal naik lebih cepat, tidak 2023 seperti perkiraan semula.

Apabila ini yang terjadi, maka bersiaplah menjadi saksi kebangkitan dolar AS. Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi aset-aset berbasis dolar AS sehingga permintaan terhadap mata uang ini bakal naik sehingga nilai tukarnya menguat.

Halaman Selanjutnya --> Masih Resesi atau Sudah Lulus?

Sentimen ketiga, investor perlu mencermati rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 di sejumlah negara. Di antaranya adalag Korea Selatan (27 April 2021), AS (29 April 2021), Prancis (30 April 2021), Spanyol (30 April 2021), Jerman (30 April 2021), dan Zona Euro (30 April 2021).

Berikut adalah proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2021 di sejumlah negara, mengutip konsensus Reuters:

Negara

Pertumbuhan Ekonomi (%yoy)

Pertumbuhan Ekonomi (%qtq)

Korea Selatan

1.1

1

Amerika Serikat

-

6.5

Prancis

-

0

Jerman

-3.2

-1.5

Spanyol

-4.1

-0.4

Italia

-1.3

-0.4

Zona Euro

-1.9

-0.8

Terlihat bahwa di hampir seluruh negara masih terjadi kontraksi (pertumbuhan negatif). Ini karena pandemi virus corona masih belum selesai, bahkan sempat terjadi serangan gelombang ketiga (third wave outbreak) di Eropa.

Akibatnya, mobilitas dan aktivitas masyarakat masih terbatas. Bahkan saat musim liburan Hari Paskah lalu warga Eropa diminta untuk #dirumahaja untuk menghindari penularan virus yang awalnya mewabah di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China tersebut. So, tidak heran angka minus masih menghiasi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) pada tiga bulan pertama 2021.

Namun ada harapan untuk kuartal II-2021. Berkat lockdown, kini laju kasus positif di Benua Biru mulai melambat. Berdasarkan catatan WHO, rata-rata tambahan pasien positif corona di wilayah Eropa dalam dua pekan terakhir (10-23 April 2021) adaah 233.191 orang per hari. Sedikit menurun dibandingkan rerata dua minggu sebelumnya yaitu 239.737 orang setiap harinya.

Ini membuat pembatasan sosial (social distancing) mulai dikendurkan. Di Yunani, misalnya, pusat perbelanjaan suda boleh dibuka. Sementara di Prancis, pemerintah memperbolehkan warga untuk bepergian ke luar kota mulai 3 Mei 2021 mendatang meski jam malam pukul 19:00 masih tetap berlaku.

"Kita sudah melalui third wave," tegas Jean Castex, Perdana Menteri Prancis, seperti dikutip dari Reuters.

Oleh karena itu, ada harapan aktivitas dan mobilitas masyarakat bisa membaik pada kuartal II-2021. 'Roda' ekonomi akan berputar lebih kencang sehingga mampu tumbuh positif dan mengakhiri resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular