Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berakhir stagnan lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (15/4/2021). Posisi rupiah masih sama dengan kemarin, pergerakannya juga nyaris sama persis, padahal data yang dirilis dari dalam negeri cukup bagus, menunjukkan pemulihan ekonomi sedang berjalan.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.600/US$. Sempat menguat 0,14% ke Rp 14.580/US$, tetapi tidak lama langsung kembali stagnan di Rp 14.600/US$.
Beberapa menit sebelum perdagangan berakhir, rupiah sempat melemah 0,07% ke Rp 14.610/US$, tetapi di akhir perdagangan kembali stagnan.
Kemarin pergerakan rupiah juga seperti itu, hanya saja tidak sempat mengalami pelemahan.
Dibandingkan mata uang Asia lainnya, rupiah meski tidak melemah tetapi terbilang mengecewakan. Sebab, hingga pukul 15:07 WIB, mayoritas mata uang Asia menguat, hanya won Korea Selatan dan yuan China yang melemah.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Lebih mengecewakan lagi, rupiah tidak mampu menguat saat indeks dolar AS sedang dalam tren menurun dan data ekspor-impor Indonesia menunjukkan kenaikan tajam.
Di pekan ini saja, indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini sudah turun tiga hari beruntun hingga Rabu kemarin, dengan total 0,51%, dan berada di level terendah dalam satu bulan terakhir.
Tren penurunan indeks dolar AS dimulai sejak 31 Maret lalu hingga Rabu kemarin. Selama periode tersebut indeks dolar AS hanya menguat 3 kali saja, total pelemahannya sebesar 1,72%.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ekspor-Impor Indonesia Melonjak
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data perdagangan internasional Indonesia periode Maret 2021. Hasilnya jauh lebih baik dari ekspektasi pasar.
BPS melaporkan nilai ekspor Indonesia bulan lalu adalah US$ 18,35 miliar. Naik 30,47% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Sementara dibandingkan dengan Februari 2021 (month-to-month/mtm), nilai ekspor Indonesia tumbuh 20,31%.
"Harga minyak mentah Indonesia mengalami kenaikan dari Februari ke Maret sebesar 5,2% dan yoy naik tajam 85,51%. Komoditas yang mengalami kenaikan harga antara lain batu bara, minyak kernel, minyak kelapa sawit, dan timah. Meningkatnya permintaan berbagai negara berpengaruh besar kepada performa ekspor Indonesia," kata Suhariyanto, Kepala BPS, dalam jumpa pers secara virtual.
Menurut Suhariyanto, kenaikan ekspor adalah buah dari perekonomian dunia yang semakin pulih dari dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Ini terlihat dari angka Purchasing Managers' Index (PMI) dunia yang pada Maret 2021 berada di 55. Ini adalah yang tertinggi dalam 121 bulan terakhir.
"Secara umum, PMI manufaktur global mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi karena seiring meningkatnya aktivitas masyarakat karena vaksinasi. Permintaan komoditas juga meningkat," kata Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.
Sementara impor pada Maret 2021 adalah US$ 16,79 miliar. Tumbuh 25,73% yoy, dan 26,55% mtm.
Dengan demikian, neraca perdagangan periode Maret 2021 mencatatkan surplus US$ 1,56 miliar.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 12,085% yoy. Sementara impor diproyeksi naik 6,925% yoy sehingga neraca perdagangan bakal surplus US$ 1,6 miliar.
Ekspor yang tumbuh positif berarti permintaan dari luar negeri mengalami peningkatan, yang tentunya menjadi kabar bagus saat dunia mencoba memulihkan perekonomian dari keterpurukan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Sementara jika impor tumbuh positif, artinya perekonomian dalam negeri terus menunjukkan pemulihan. Bahkan dengan impor yang meroket, memberikan gambaran roda bisnis di dalam negeri mulai terakselerasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA