
Sentimen Pasar Beragam, Harga SBN Pun Ditutup Variatif

Jakarta, CNBCIndonesia - Pergerakan harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup bervariasi pada perdagangan Senin (12/4/2021), di tengah pelemahan bursa saham Asia dan dalam negeri dan turunnya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) pada sore hari ini waktu Indonesia.
Sikap investor di pasar SBN cenderung beragam, di mana SBN acuan tenor 1 tahun, 3 tahun, 15 tahun, dan 25 tahun ramai dikoleksi investor dan mengalami penguatan harga. Sedangkan sisanya cenderung dilepas oleh investor dan mengalami pelemahan harga.
Dari imbal hasilnya (yield), SBN acuan tenor 1 tahun, 3 tahun, 15 tahun, dan 25 tahun mengalami penurunan yield, sedangkan sisanya yakni SBN acuan tenor 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun mengalami kenaikan yield.
Yield SBN seri FR0087 dengan tenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara naik sebesar 5,9 basis poin (bp) ke level 6,512%. Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Sementara itu, yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali mengalami penurunan tipis pada sore hari ini waktu Indonesia. Berdasarkan data website World Government Bond, yield acuan surat utang AS tenor 10 tahun turun tipis 0,7 basis poin ke level 1,662%.
Di pasar saham, baik di Asia maupun di dalam negeri, pada hari ini diperdagangkan di zona merah, karena pelaku pasar, terutama di China khawatir jika data ekonomi pulih, maka dewan moneter akan mengetatkan kebijakan suku bunganya.
"Data pertumbuhan ekonomi kuartal pertama China mungkin akan mengalahkan ekspektasi pasar, yang dapat meningkatkan kekhawatiran atas pengetatan kebijakan moneter yang lebih cepat," kata Huaan Securities dalam sebuah laporan, dikutip dari Reuters.
"Pasar juga dapat menghadapi tantangan, karena indeks harga produsen (PPI) yang lebih kuat dari perkiraan dapat menyebabkan perubahan marjinal dalam kebijakan moneter," tambahnya.
Di lain sisi, pasar cenderung masih merespons komentar bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mempertahankan kebijakan suku bunga longgarnya. Terbaru pada Minggu kemarin, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan ekonomi AS berada di "poin pembalikan" dengan pertumbuhan dan kenaikan pembukaan lapangan kerja diprediksi melesat.
Namun demikian, masih ada risiko seputar pembukaan ekonomi yang terlalu cepat yang bisa memicu kembali kenaikan kasus Covid-19. Powell mengatakan "sangat tidak mungkin" bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan "kapanpun tahun ini."
Dari dalam negeri, investor memantau data penjualan ritel Indonesia bulan Februari. Hingga bulan Januari, penjualan ritel sudah negatif selama 14 bulan beruntun dan pada Februari anjlok 16,4% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Rilis data penjualan ritel dalam negeri pun mengecewakan. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2021 sebesar 177,1. Terjadi kontraksi atau pertumbuhan negatif 2,7% (month-to-month/MtM). Secara YoY, kontraksinya mencapai 18,1%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aksi Ambil Untung di SBN Mulai Mereda, Harga SBN Menguat Lagi
