
Awas, Dolar AS Kian Dekat ke Rp 14.600!

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Mata uang Tanah Air belum mampu menandingi keperkasaan dolar AS yang terus saja berlanjut.
Pada Senin (12/4/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.560 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu atau stagnan.
Namun dalam hitungan menit, rupiah masuk jalur merah. Pada pukul 09:19 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.570 di mana rupiah melemah 0,07%.
Sepanjang pekan lalu, rupiah melemah 0,28% secara point-to-point. Dolar AS sudah cukup nyaman berada di atas Rp 14.500 bahkan mulai flirting ke arah Rp 14.600.
Tren depresiasi bukan hanya dialami oleh rupiah, berbagai mata uang dunia pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Rasanya dolar AS sedang menjadi raja mata uang.
Pada pukul 07:22 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,05%. Sejak akhir 2020 (year-to-date), indeks ini melesat 2,52%.
Halaman Selanjutnya --> Laju Inflasi Terakselerasi
Well, bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tidak pernah bosan menyampaikan bahwa jalan pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih panjang dan lama. Namun pelaku pasar tetap tidak percaya. Ngeyel, ndablek, bahwa kebangkitan ekonomi sudah di depan mata, cetha wela-wela.
Kalau melihat sejumlah data ekonomi terbaru di AS, maka keyakinan pelaku pasar bukannya tanpa dasar. Memang tanda-tanda pemulihan ekonomi semakin nyata.
Pertama, inflasi di tingkat produsen (Producer Price Index/PPI) pada Maret 2021 berada di 4,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Ini adalah laju tercepat sejak 2011.
Data ini mencerminkan bahwa 'api' industri di Negeri Adikuasa sudah berkobar. Pengadaan bahan baku dan barang modal meningkat karena peningkatan aktivitas produksi. Ini kemudian diterjemahkan menjadi kenaikan harga di tingkat pabrik.
Selain itu, tentu tidak ada asap kalau tidak ada api. Mana berani dunia usaha menaikkan harga kalau barangnya tidak terbeli? Keyakinan akan peningkatan permintaan membuat dunia usaha berani menaikkan harga.
Ini adalah cerminan ekonomi yang sehat. Dunia usaha mendapatkan untung, masyarakat pun bisa membeli barang dan jasa meski harganya naik karena perbaikan daya beli.
Halaman Selanjutnya --> Peluang Kenaikan Suku Bunga Kian Besar
Data kedua, yang semakin menegaskan bahwa konsumsi masyarakat sedang bergeliat, adalah penyaluran kredit. Pada Februari 2021, penyaluran Kredit Konsumsi oleh perbankan AS naik 7,92% secara kuartalan yang disetahunkan (annualized). Ini adalah yang tertinggi sejak November 2017.
Peningkatan permintaan yang sepertinya memang di depan ini membuat risiko tekanan inflasi tidak bisa dikesampingkan. Meski The Fed berkali-kali menegaskan bahwa tekanan inflasi masih jauh panggang dari api, tetapi pelaku pasar tidak percaya. Kalau permintaan naik, masa iya tidak ada tekanan inflasi?
Oleh karena itu, ekspektasi bahwa The Fed bisa menaikkan suku bunga acuan lebih cepat dari perkiraan (bukan 2023) semakin besar. Mengutip CME FedWatch, kemungkinan Federal Funds Rate naik 25 basis poin (bps) menjadi 0,25-0,5% pada akhir 2021 adalah 10,5%. Peluang ini semakin lama semakin tinggi, sebulan yang lalu hanya 4,2%.
![]() |
Kalau suku bunga acuan betul-betul naik, maka imbalan investasi di aset-aset berbasis dolar AS (terutama di instrumen berbasis pendapatan tetap seperti obligasi yang sensitif terhadap suku bunga) akan ikut terangkat. So, tidak heran permintaan dolar AS melonjak.
Seperti Manchester City di Liga Primer Inggris yang akhir pekan lalu 'terpeleset' karena kalah dari Leeds United di kandang sendiri, akan ada momen-momen di mana dolar AS akan melemah. Namun itu hanya riak-riak kecil karena rasanya dolar AS rasanya masih seperkasa The Citizens yang walau kalah tetapi masih aman dan nyaman di puncak klasemen.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'
