Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini, pasar keuangan Indonesia cenderung bergerak bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan SBN cukup cerah sepanjang pekan ini. Sedangkan untuk rupiah cenderung kurang menggembirakan pada pekan ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan ini kembali eksis, dengan melesat 0,98% dari posisi akhir pekan lalu ke 6.070,21. Pada perdagangan akhir pekan ini (9/4/2021), IHSG ditutup melemah tipis 0,02%. Sepanjang pekan ini, pelemahan IHSG yang paling besar hanya terjadi di awal pekan Senin (5/4/2021), melemah 0,68%.
Nilai perdagangan selama sepekan tercatat sebesar Rp 47,7 triliun. Investor asing membukukan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 1,87 triliun di pasar reguler.
Sementara itu, pergerakan rupiah sepekan ini juga tercatat masih lesu. Di arena pasar spot rupiah melemah 0,28% di hadapan greenback. Padahal di saat yang sama indeks dolar sejatinya sedang melemah.
Rupiah ditutup terdepresiasi 0,21% ke level Rp 14.560/US$ di hadapan dolar AS kemarin, Jumat (9/4/2021). Akhir minggu lalu nilai tukar rupiah masih berada di Rp 14.520/US$.
Sementara itu, pasar obligasi pemerintah RI sepanjang pekan ini terbilang cukup cerah. Pasalnya hampir seluruh tenor obligasi pemerintah atau surat berharga negara (SBN) acuan mengalami kenaikan harga dan penurunan imbal hasilnya (yield).
Kenaikan harga ditandai dengan penurunan yield SBN terjadi bersamaan dengan menurunnya yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) sepanjang pekan ini.
Berdasarkan data dari Refinitiv, yield surat utang AS (US Treasury) turun 1,3 basis poin ke level 1,666% pada pekan ini, dari sebelumnya pada pekan lalu di level 1,679%
Adapun yield SBN acuan tenor 10 tahun turun signifikan sebesar 30,8 basis poin (bp) ke level 6,453% dari akhir pekan lalu di level 6,761%. Penurunan yield SBN tenor 10 tahun juga menjadi yang terbesar diantara yield SBN acuan lainnya. Namun memang sebagian besar yield SBN acuan turun signifikan.
Selain di SBN acuan tenor 10 tahun, penurunan yield terbesar lainnya ada di SBN acuan tenor 5 tahun, kemudian di SBN acuan tenor 20 tahun yang masing-masing yield-nya turun sebesar 26,2 bp dan 24 bp.
Sementara untuk SBN berjatuh tempo 1 tahun dan 30 tahun, yield-nya turun cenderung tipis sepanjang pekan ini.
Jika pasar saham dan obligasi cerah, sementara di pasar mata uang masih cenderung lesu pada pekan ini, bagaimanakah pasar keuangan dalam negeri pada pekan depan? Apa saja sentimen pada pekan depan, akankah membuat pasar keuangan nasional lebih baik dari pekan ini?
Simak sentimen pekan depan di halaman selanjutnya >>>
Dari Amerika Serikat (AS), musim rilis laporan keuangan triwulanan akan mewarnai pasar pada pekan depan. Hal ini tentunya akan berdampak pada saham-saham di AS, terutama saham-saham kategori bertumbuh atau growth stock.
Saham-saham kategori growth stock menemukan pijakannya selama dua minggu terakhir setelah sebelumnya dikalahkan oleh saham-saham bernilai (value stock) hampir sepanjang tahun.
Growth stock adalah saham yang perusahaannya memiliki potensi untuk menaikkan nilai perusahaan dengan cara yang cepat, sementara value stock adalah saham-saham yang diperdagangkan pada harga lebih rendah dibandingkan dengan harga dasarnya/harga pasarnya.
Selain memantau perkembangan saham growth stock AS, pelaku pasar juga perlu mencermati penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) yang berpotensi masih akan berlanjut pada pekan depan.
Namun pelaku pasar juga harus berhati-hati, pasalnya yield Treasury masih bervolatilitas tinggi dan tak menutup kemungkinan akan kembali naik pada pekan depan.
Dari kebijakan dovish bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih dipertahankan juga masih perlu dicermati oleh pelaku pasar. Pada pekan lalu, pasar saham menunjukkan sedikit kekhawatiran karena bank sentral AS, masih mempertahankan kebijakan dovish-nya.
"Inilah sebabnya mengapa sepanjang pekan (Ketua The Fed, Jerome Powell) sangat bersemangat, dia memastikan semua orang mengerti bahwa mereka mengharapkan lonjakan [inflasi] dan mereka siap untuk itu, itu bukan kejutan," kata Ken Polcari, Managing Partner di Kace Capital Advisors, Florida, dilansir Reuters, Sabtu (10/4/2021).
Hal lainnya juga yang perlu dicermati adalah respons pasar terkait perubahan proyeksi ekonomi global dari Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF), di mana IMF memproyeksikan ekonomi global akan tumbuh sebesar 6% pada tahun ini.
Namun terkhusus di Indonesia, IMF melakukan revisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi RI di tahun 2021, dari sebelumnya pada Januari di level 4,8%, kini menjadi 4,3%. Namun di tahun depan, IMF memprediksi ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas rata-rata dunia, yakni sebesar 5,8%.
Di lain sisi, pada pekan depan, beberapa negara akan merilis data ekonomi pentingnya yang dapat menjadi acuan indikator utama perekonomian suatu negara.
Di AS, data dan agenda ekonomi yang akan dirilis pada pekan depan diantaranya data inflasi periode Maret 2021, harga ekspor-impor periode Maret 2021, penjualan ritel periode Maret 2021 dan klaim pengangguran pada pekan yang berakhir tanggal 10 April 2021.
Sementara di China, data dan agenda ekonomi yang akan dirilis pada pekan depan yakni data neraca perdagangan periode Maret 2021, data pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun 2021, data tingkat pengangguran periode Maret 2021, dan data penjualan ritel periode Maret 2021.
Sedangkan di Jepang, data dan agenda ekonomi pada pekan depan adalah pidato ketua bank sentral Jepang dan rilis data neraca perdagangan periode Maret 2021.
Sementara di Eropa, data dan agenda yang akan dirilis pada pekan depan adalah Neraca Perdagangan Inggris dan Zona Eropa (Februari 2021), pidato ketua bank sentral Eropa dan inflasi Zona Eropa (Maret 2021).
Adapun di Indonesia, data ekonomi yang akan dirilis pada pekan depan adalah data penjualan retail Februari 2021 dan data neraca perdagangan Maret 2021.
TIM RISET CNBC INDONESIA