
Aturan Bank Digital Kelar Semester I, OJK Warning Risiko Ini!

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan akan mengeluarkan aturan mengenai perbankan digital sebelum semester I berakhir. Peraturan bank digital ini tidak akan membuat dikotomi dengan bank konvensional tetapi menjadi bentuk konvergensi.
Kelapa Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, dalam VIP Forum Digital Bank CNBC Indonesia, Kamis pekan lalu (8/4/2021), mengatakan salah satu yang diatur nantinya ialah perbankan yang ingin menerapkan fully digital bank harus memiliki modal Rp 3 triliun hingga Rp 10 triliun.
"Kami memang sedang menyiapkan rancangan POJK mengenai bank umum, di dalamnya juga akan mengatur pendirian bank baru, termasuk yang ingin mendirikan bank fully digital. OJK tidak mendikotomikan bank digital atau bank umum, di dalam Undang-Undang perbankan kita hanya mengenal dua bank, Bank Umum dan BPR," katanya.
Heru mengatakan yang terjadi saat ini, bank tradisional bertransformasi melayani digital, sehingga bank yang fully digital itu belum ada. Beberapa bank sudah melakukan transformasi dari tradisional ke digital karena penyesuaian perilaku nasabah.
Apalagi selama pandemi covid-19 terjadi shifting behavior dari nasabah ke digital, sudah mulai mengurang transaksi tatap muka.
Heru menegaskan, POJK baru tentang Bank Umum akan diselesaikan sebelum semester I tahun ini.
"Sedang kita rancang POJK bank umum, semester I moga moga bisa kita umumkan, strategi kita yang akan ditempuh OJK mengakselesari digital banking, pertama, melakukan penguatan tata kelola dan manajemen risiko di teknologi informasi, mendorong penggunaan IT game changer," kata Heru.
Di sisi lain, Heru menegaskan satu risiko yang perlu dipahami perbankan. OJK memperkirakan bank yang tidak mau melakukan penyesuaian ke layanan digital pasti akan ditinggalkan nasabah.
Apalagi nasabah menginginkan transaksi perbankan lebih mudah dengan menggunakan teknologi smartphone yang saat ini bisa melakukan apa saja.
OJK juga mengingatkan bank agar segera bertransformasi ke digital karena nasabah membutuhkan layanan itu. Bila tidak mau berubah bersiaplah ditinggal nasabah.
Heru mengatakan saat ini banyak nasabah yang lebih nyaman bertransaksi digital ketimbang ke kantor cabang.
"Mau tidak mau bank harus siap, kebutuhan para nasabah sudah seperti itu, kalau tidak siap akan ditinggal nasabah," ujarnya.
Untuk memberikan layanan digital yang berbasis teknologi, perbankan membutuhkan modal yang besar karena kesiapan transformasi membutuhkan permodalan cukup kuat untuk teknologi, dan sumber daya manusia andal.
"Kita mensyaratkan bank baru bermodal Rp 10 triliun untuk melayani layanan digital," terangnya.
"Untuk kebutuhan layanan yang lebih baik, efisien melayani nasabah rentangnya memang antara Rp 3 triliun hingga Rp 10 triliun. Itu penelitian, kita enggak ngarang," tegasnya lagi.
Dengan kehadiran skema baru ini, OJK memastikan tidak akan membedakan bank digital atau bank umum biasa seperti yang dilakukan Singapura. Ini karena dalam Undang-Undang Perbankan di Indonesia hanya membedakan bank umum dan BPR (bank perkreditan rakyat).
"Rancangan POJK Bank Umum akan diatur bagaimana kapasitas permodalan kalau dia akan dirikan fully digital, harus punya tata kelola lebih baik dalam teknologi, kapasitas permodalan harus mencukupi dan model bisnis," tambah Heru.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rilis Roadmap, Ini Bocoran Strategi OJK Dukung Bank Digital
