
Jika Rupiah Tak Tertekan, Apakah BI Akan Turunkan Suku Bunga?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rendahnya inflasi di Indonesia sebenarnya memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk kembali menurunkan suku bunga. Namun, pada pengumuman rapat hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Maret, BI mempertahankan suku bunga di rekor terendah sepanjang sejarah 3,5%, dengan alasan menjaga stabilitas rupiah.
"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%. Keputusan ini sejalan dengan perlunya stabilitas nilai tukar rupiah dari ketidakpastian keuangan global di tengah inflasi yang tetap rendah," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG, Kamis (18/3/2021).
Laju inflasi Indonesia sebenarnya dalam dalam tren melambat, yang bisa memberikan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, inflasi umum pada Maret 2021 sebesar 0,08% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 1,37% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara inflasi inti tercatat -0,03% MtM dan 1,21% YoY.
Realisasi ini melambat dibandingkan Februari 2021. Kala itu, inflasi umum adalah 0,1% MtM dan 1,38% YoY. Sedangkan inflasi inti 0,11% MtM dan 1,53% YoY.
Sejak Januari, laju inflasi terlihat semakin melambat. Bahkan inflasi inti secara YoY berada di posisi terendah sejak BPS mulai melaporkannya pada 2004.
Sayangnya, saat inflasi menurun nilai tukar rupiah sedang mengalami tekanan. Seandainya BI menurunkan suku bunga, nilai tukar rupiah tentu berisiko semakin terpuruk.
Nilai tukar rupiah belakangan ini memang mengalami tekanan cukup besar. Sebabnya kenaikan yield obligasi (Treasury) di AS akibat ekspektasi pemulihan ekonomi serta kenaikan inflasi. Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisih dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menyempit, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya membuat rupiah tertekan.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 2%.
Rupiah kini berada di level terlemah dalam 5 bulan terakhir, dan tekanan masih cukup besar. Sebab dolar AS diprediksi masih akan perkasa melawan mata uang emerging market, setidaknya dalam 1 bulan ke depan.
Reuters mengadakan polling terhadap ahli strategi valuta asing (valas), dari 56 yang disurvei sebanyak 48 orang atau 85% memperkirakan dolar AS masih akan kuat setidaknya 1 bulan lagi.
Dari 48 orang tersebut, sebanyak 11 orang memprediksi penguatan dolar AS akan berlangsung dalam 3 hingga 6 bulan ke depan, sementara 16 orang mengatakan akan berlangsung lebih dari 6 bulan lagi.
Rupiah memang layak waspada, sebab survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 58% ahli strategi valas memprediksi mata uang emerging market akan tertekan melawan dolar AS dalam tiga bulan ke depan.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Secara Teknikal Rupiah Juga Masih Tertekan