Berakhir di Rp 14.500/US$, Rupiah Menguat 2 Hari Beruntun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 April 2021 15:56
Warga melintas di depan toko penukaran uang di Kawasan Blok M, Jakarta, Jumat (20/7). di tempat penukaran uang ini dollar ditransaksikan di Rp 14.550. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses membukukan penguatan 2 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (6/4/2021). Dolar AS sedang mengalami tekanan sejak kemarin, setelah rilis data tenaga kerja pada pekan lalu.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,21% ke Rp 14.480/US$. Sayangnya level tersebut menjadi yang terkuat pada hari, setelahnya rupiah sempat stagnan di Rp 14.510/US$.

Setelahnya rupiah kembali berhasil menguat, dan bertahan di zona hijau hingga penutupan perdagangan. Rupiah berakhir di level Rp 14.500/US$, menguat 0,07%. Awal pekan kemarin, rupiah juga menguat dengan persentase yang sama.

Dibandingkan mata uang utama Asia, kinerja rupiah cukup bagus, sebab hingga pukul 15:10 WIB masih banyak yang mengalami pelemahan. Won Korea Selatan menjadi yang terbaik hari ini dengan penguatan 0,36%.

Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.

Indeks dolar AS yang merosot 0,46% ke 92,595 kemarin, sementara hingga sore ini naik 0,12% yang membuat rupiah memangkas penguatan.

Dolar AS mengalami tekanan setelah Departemen Tenaga Kerja AS pada Jumat (2/4/2021) melaporkan tingkat pengangguran di bulan Maret memang turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%, kemudian penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) tercatat sebanyak 916.000 orang, terbanyak sejak Agustus 2020 lalu.

Tetapi ada satu yang mengganjal, rata-rata upah per jam turun 0,1% pada bulan lalu, setelah naik 0,3% di bulan sebelumnya. Padahal, upah merupakan komponen penting dalam pemulihan ekonomi AS, serta kenaikan inflasi.

Dengan penurunan rata-rata upah per jam tersebut, laju kenaikan inflasi kemungkinan akan terhambat. Apalagi pada bulan Februari lalu, inflasi AS (yang dicerminkan oleh Personal Consumption Expenditure/PCE inti) tumbuh di 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%.

Inflasi PCE merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) untuk merubah kebijakan moneternya, ketika inflasi masih lemah, maka kebijakan moneter ultralonggar masih akan dipertahankan. Alhasil, dolar AS melemah merespon data tersebut.

Selain itu pelaku pasar juga menanti rilis cadangan devisa (cadev) Indonesia bulan Maret besok. Posisi cadangan devisa pada akhir Februari sebesar US$ 138,8 miliar, naik US$ 800 juta dibandingkan dengan posisi akhir Januari lalu.

"Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 10,5 bulan impor atau 10,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan," sebut keterangan tertulis BI, Jumat (5/3/2021). 

Posisi cadev di bulan Februari lalu merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah, mematahkan rekor sebelumnya US$ 138 miliar yang dicapai pada bulan Januari lalu. Artinya dalam 2 bulan pertama tahun ini, cadev Indonesia terus mencetak rekor tertinggi.

Peningkatan cadev berarti BI punya lebih banyak amunisi untuk menstabilkan rupiah saat mengalami gejolak, sehingga akan direspon positif oleh pasar.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedang Tak Berharga, Dolar Makin Banyak 'Dibuang'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular