
Yield US Treasury Naik Tipis, Mayoritas Harga SBN Menguat

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) mayoritas menguat pada perdagangan Senin (5/4/2021), di tengah kenaikan tipis dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) pada sore hari ini waktu Indonesia.
Mayoritas SBN ramai dikoleksi oleh investor, kecuali SBN dengan tenor 1 tahun, 25 tahun dan 30 tahun yang masih dilepas oleh investor pada hari ini.
Dari imbal hasilnya (yield), hampir semua SBN kembali mencatatkan penurunan yield, kecuali SBN bertenor 1 tahun dengan kode FR0067 yang yield-nya naik 0,7 basis poin (bp) ke level 7,782%, yield SBN berjatuh tempo 25 tahun dengan seri FR0067 yang naik 1,2 bp ke 7,76%, dan yield SBN bertenor 30 tahun dengan kode FR0089 juga naik 0,8 bp ke 7,065%
Sementara itu, yield SBN seri FR0087 bertenor 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara turun signifikan sebesar 15,6 bp ke level 6,617%.Yield berlawanan arah dari harga, sehingga penurunan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Harga SBN yang menguat ditandai dengan penurunan yield-nya terjadi di tengah kenaikan tipis yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) pada sore hari ini waktu Indonesia. Berdasarkan data World Government Bond, per pukul 17:15 WIB, yield surat utang pemerintah AS acuan tenor 10 tahun naik sebesar 0,8 basis poin ke level 1,722%.
Dalam beberapa pekan terakhir, yield Treasury cukup volatil, namun cenderung menguat karena ekspektasi pemulihan ekonomi serta kenaikan inflasi di AS yang membuat pelaku pasar melepas kepemilikan US Treasury tersebut dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020.
Kenaikan yield Treasury tersebut membuat selisih dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit, sehingga memicu capital outflow. Adapun spread antara yield Treasury dengan yield SBN dengan tenor yang sama-sama 10 tahun sore hari ini sebesar 498,7 bp.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang bulan Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 20 triliun di pasar obligasi.
Dari data tenaga kerja AS, Departemen Tenaga Kerja AS pada pekan lalu melaporkan tingkat pengangguran di bulan Maret memang turun menjadi 6% dari bulan sebelumnya 6,2%, kemudian penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll) tercatat sebanyak 916.000 orang, terbanyak sejak Agustus 2020 lalu.
Namun ada satu yang mengganjal, rata-rata upah per jam turun 0,1% pada bulan lalu, setelah naik 0,3% di bulan sebelumnya. Padahal, upah merupakan komponen penting dalam pemulihan ekonomi AS, serta kenaikan inflasi.
Dengan penurunan rata-rata upah per jam tersebut, laju kenaikan inflasi kemungkinan terhambat. Apalagi pada Februari lalu, inflasi AS (yang dicerminkan oleh Personal Consumption Expenditure/PCE inti) tumbuh di 1,4% secara tahunan (year-on-year). Pertumbuhan tersebut lebih lambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%.
Inflasi PCE merupakan salah satu acuan bank sentral AS (The Fed) untuk merubah kebijakan moneternya, ketika inflasi masih lemah, maka kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Aksi Ambil Untung di SBN Mulai Mereda, Harga SBN Menguat Lagi
