Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot pagi ini. Rendahnya minat pelaku pasar terhadap aset-aset berisiko membuat mata uang Asia tertekan, termasuk rupiah.
Pada Rabu (31/1/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.480 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin lemah. Pada pukul 09:16 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.500 di mana rupiah melemah 0,21%. Ini adalah posisi terlemah rupiah sejak November 2020.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot di posisi Rp 14.470/US$, melemah 0,21%. Dolar AS sudah begitu dekat dengan level Rp 14.500.
Depresiasi rupiah adalah tema yang mewarnai perekonomian nasional akhir-akhir ini. Sejak awal Maret 2021, rupiah sudah melemah 1,54% dan sepanjang 2021 depresiasi mata uang Ibu Pertiwi mencapai 3,06%.
Dari dalam negeri, ada faktor musiman yang membuat rupiah melemah. Jelang akhir kuartal, kebutuhan valas korporasi memang tinggi untuk membayar dividen, utang jatuh tempo, dan sebagainya.
Rupiah pun banyak dilepas untuk ditukar dengan valas, utamanya dolar AS. Faktor musiman ini yang membuat rupiah melemah.
Halaman Selanjutnya --> Yield Obligasi Pemerintah AS Naik Lagi
Sementara dari sisi eksternal, situasi juga sedang kurang kondusif buat rupiah. Investor sepertinya sedang bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko.
Hal ini tercermin di bursa saham New York. Dini hari tadi waktu Indonesia, tiga indeks utama di Wall Street ditutup melemah di mana Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,31%, S&P 500 berkurang 0,32%, dan Nasdaq Composite minus 0,11%.
"Pasar bak kehilangan pemimpin, tidak tentu arah. Akibatnya perilaku investor ya begitu-begitu saja, bolak-balik di antara saham teknologi dan siklikal," ujat Tim Ghriskey, Chief Investment Strategist di Inverness Counsel yang berbasis di New York, sebagaimana diwartakan Reuters.
Saat tidak ada 'perangsang' untuk masuk ke instrumen berisiko, investor pun melirik aset aman seperti obligasi pemerintah AS. Apalagi imbal hasil (yield) surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden kembali bergerak naik.
Pada pukul 07:42 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 1,726%. Ini adalah yang tertinggi sejak 19 Maret 2021.
"Banyak faktor yang mendorong kenaikan yield. Pasokan, ekspektasi inflasi, pemulihan ekonomi yang cepat, sampai stimulus," kata Andrew Brenner, Head of International Fixed Income di National Alliance Securities, seperti dikutip dari Reuters.
Halaman Selanjutnya --> Cuan di Aset Aman Bisa Bersaing dengan Saham
Dengan yield di atas 1,7%, kini US Treasury Bonds tenor 10 tahun memberikan imbalan yang bersaing dengan aset berisiko seperti saham. Saat ini dividend yield indeks S&P 500 ada di 1,89%.
Di saham, dana investor bisa 'hangus' tak berbekas ketika pasar sedang bergejolak. Namun di obligasi, duit investor dijamin kembali penuh 100% saat jatuh tempo. Plus pendapatan tetap (fixed income) dari kupon yang dibayar setiap bulan.
So, obligasi adalah aset yang hampir tanpa risiko, apalagi obligasi pemerintah AS. Kemungkinan gagal bayar sangat minim, kalau tidak mau dibilang tidak ada. Peringkat utang (rating) AS adalah yang paling tinggi, baik itu dari Fitch, Moody's, dan S&P.
Aset aman ini sekarang memberikan keuntungan yang bersaing dengan aset berisiko. Siapa yang tidak tertarik?
Peningkatan minat di obligasi pemerintah AS otomatis mengerek permintaan dolar. Pada pukul 07:54 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,04%.
Dalam sebulan terakhir, Dollar Index melesat 2,45%. Sementara sepanjang 2021, kenaikannya mencapai 3,7%. Jadi jangan heran, ojo gumunan, kalau rupiah melemah lagi ya...
TIM RISET CNBC INDONESIA