
Yield Treasury Diramal Tembus 1,9%, Rupiah Sudah Siap?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan yield obligasi (Tresaury) di tahun ini cukup memicu riak-riak di pasar emerging market, seperti Indonesia. Rupiah mengalami depresiasi, yang dipicu capital outflow dari pasar obligasi. Pasar saham pun mengalami kesulitan untuk menguat.
Pada perdagangan hari ini, Selasa (30/3/2021), yield Treasury tenor 10 tahun naik 4,07 basis poin ke 1,7617%. Sementara jika dibandingkan posisi akhir tahun 2020 yield tersebut melesat nyaris 85 basis poin, dan berada di level tertinggi sejak Januari 2020, sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS membabat habis suku bunganya menjadi 0,25% serta mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan.
Ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat dari perkiraan, serta kenaikan inflasi membuat pelaku pasar melepas Treasury yang membuat yield-nya naik.
Alhasil, selisih yield Treasury dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Dengan status Indonesia yang merupakan negara emerging market, menyempitnya selisih yield membuat SBN menjadi kurang menarik, sehingga memicu capital outflow yang pada akhirnya menekan rupiah.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, sepanjang tahun ini hingga 29 Maret lalu, terjadi capital outflow sebesar Rp 26 triliun di pasar obligasi. Pada periode yang sama, nilai tukar rupiah melemah lebih dari 3%.
Kabar buruknya, Reuters memprediksi yield Treasury AS terus menanjak. Reuters melakukan survei terhadap 70 ahli strategi fix income pada periode 18-25 Maret lalu, mayoritas memprediksi yield akan mencapai 1,9% dalam satu tahun ke depan.
Bahkan, hasil survei tersebut menunjukkan aksi jual di pasar obligasi AS masih akan terjadi dalam 3 bulan ke depan. Artinya, ada kemungkinan yield Treasury akan menanjak signifikan di kuartal II-2021.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Yield Treasury Nanjak Terus, Rupiah Apa Kabar?
Seperti disebutkan sebelumnya, ekspektasi pemulihan ekonomi serta kenaikan inflasi di AS menjadi pemicu melesatnya yield Treasury.
Ketua The Fed, Jerome Powell, melakukan rapat kerja dengan Kongres AS dalam 2 hari terakhir. Powell pada kesempatan kali ini menyebut perekonomian AS akan sangat kuat di tahun 2021.
"(Perekonomian AS) akan sangat-sangat kuat pada tahun ini. Kemungkinan besar seperti itu," tegas Powell menjawab pertanyaan tentang prospek ekonomi Negeri Paman Sam, Rabu (25/3/2021).
Powell optimis perekonomian AS mampu tumbuh 6,5% di tahun ini.
Pelaku pasar bahkan melihat kemungkinan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi, serta kenaikan inflasi. Ketika inflasi naik, ada kemungkinan The Fed akan segera mengurangi nilai QE, dolar AS pun makin berjaya.
Meski demikian, Powell menegaskan belum akan merubah kebijakannya dalam waktu dekat. QE senilai US$ 120 miliar tidak akan dikurangi, dan suku bunga 0,25% tidak akan dinaikkan sebelum tahun 2023.
Selain itu, Powell juga tidak mempermasalahkan kenaikan yield Treasury selama hal tersebut terjadi sebagai respon pemulihan ekonomi serta kenaikan inflasi.
The Fed memang memprediksi inflasi akan meningkat di tahun ini, bahkan mencapai 2,4%. Tetapi, bank sentral paling powerful di dunia ini sebelumnya sudah merubah panduan kebijakan moneternya. The Fed kini menetapkan target rata-rata inflasi sebesar 2%, tidak lagi 2%. Yang patut digarisbawahi adalah rata-rata inflasi, artinya The Fed akan membiarkan inflasi lebih tinggi dari 2% dalam beberapa waktu ke depan, sebab sebelumnya inflasi jauh di bawah 2%.
Dengan inflasi yang diprediksi mencapai 2,1%, maka wajar jika yield Treasury terus naik. Yield di bawah inflasi, artinya real return yang diperoleh dari berinvestasi menjadi negatif.
Lantas, apa kabar rupiah jika yield Treasury terus menanjak?
Riak-riak tentunya masih akan terjadi, tetapi tidak akan separah pada Maret tahun lalu. The Fed pun diperkirakan akan melakukan intervensi ketika yield Treasury terlalu tinggi.
Survei dari Reuters menunjukkan The Fed akan mengadopsi kebijakan yield-curve control ketika yield Treasury tenor 10 tahun berada di kisaran 2,25% hingga 2,5%.
Selain itu, kenaikan inflasi juga diprediksi tidak akan terjadi dalam jangka panjang dan hanya sementara, sehingga kenaikan yield juga akan terbatas.
"Kenaikan yield Treasury terjadi akibat prospek pertumbuhan ekonomi serta kenaikan inflasi, tetapi pada akhirnya kenaikan inflasi tersebut terbukti hanya sementara," kata Elwin de Groot, kepala strategi makro di Rabobank, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (30/3/2021).
The Fed sendiri memprediksi inflasi di tahun 2022 sebesar 2%, artinya melambat ketimbang tahun ini.
Sementara itu, menurut ekonom senior Chatib Basri, kondisi sekarang dinamakan tantrum without tapering alias pembalikan atau gejolak sudah terjadi padahal The Fed tidak menaikkan suku bunga acuan. Hal ini bisa terhenti atau tidak sangat bergantung pada kekuatan The Fed menjaga pergerakan pasar.
The Fed, kata Chatib mungkin akan mengambil langkah dengan intervensi pada yield Treasury. Caranya Bank Sentral membeli surat utang jangka panjang dari pasar. Tujuannya agar yield tidak terlalu tinggi.
"Kalau dilakukan maka ekspektasi inflasi bisa dikendalikan, itu berarti The Fed harus beli bond jangka panjang, harus stabilisasi," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (24/3/2021).
"Tapi bisa apa gak? Itu juga masih jadi pertanyaan, karena pasar AS kan besar. Bisa gak The Fed. Jadi pertarungannya di situ," jelas Mantan Menteri Keuangan tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 'Hilal' Pemulihan Ekonomi Terlihat, Obligasi AS Menggeliat