
Yang Pegang Saham ANTM-INCO-TINS, Waspada Profit Taking!

Jakarta, CNBC Indonesia - Trio saham emiten sektor nikel anjlok berbarengan pada perdagangan Senin kemarin (29/3/2021). Para pelaku pasar tampaknya mulai melakukan aksi ambil untung atau profit taking, setelah ketiga saham tersebut melesat pada Jumat pekan lalu (26/3).
Pada perdagangan Senin (29/3), ketiga saham ini juga tercatat masuk ke dalam daftar saham dengan nilai transaksi terbesar.
Berikut gerak ketiga saham nikel pada perdagangan kemarin, Senin (29/3):
Pada perdagangan Jumat (26/3), ketiga saham di atas kompak melesat, dengan ANTM yang memimpin penguatan di antara dua saham lainnya.
Saham ANTM melejit 11,47% ke Rp 2.430/saham dengan catatan nilai transaksi Rp 1,54 triliun. Bersama INCO, ANTM menduduki jajaran lima besar top gainers pada perdagangan akhir pekan lalu.
Sementara, saham INCO ikut melonjak 7,34% ke posisi Rp 4.680/saham pada perdagangan Jumat (26/3). Nilai transaksi emiten yang 20% sahamnya dimiliki oleh PT Inalum ini sebesar Rp367,92 miliar.
Tidak hanya ANTM-INCO, emiten nikel pelat merah lainnya, TINS, juga mencuat 5,42% ke Rp 1.750/saham dengan nilai transaksi Rp 338,04 miliar pada perdagangan Jumat lalu.
Sebenarnya, pada perdagangan Jumat mayoritas saham emiten nikel sama-sama melaju di zona hijau.
Sebut saja, saham PT Harum Energy Tbk (HRUM), yang melonjak 7,88%. Kemudian, saham PT Pelat Timah Nusantara (NIKL), melesat 4,27% dan PT Central Omega Resources Tbk (DKFT) naik 3,77%.
Memang, pada perdagangan Jumat pekan lalu, emiten nikel didorong oleh sejumlah sentimen positif.
Pertama, kabar baik dari perkembangan seputar investasi dan rencana Tesla ke Indonesia. Asal tahu saja, nikel merupakan salah satu bahan baku dalam produksi baterai kendaraan listrik.
Sebelumnya, dalam CNBC Indonesia Mining Forum dengan Tema "Prospek Industri Minerba 2021", Rabu (24/3), Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan kembali menyebut rencana produsen mobil listrik Tesla Inc untuk berinvestasi di Indonesia.
Rencana investasi Tesla tersebut terkait dengan hilirisasi nikel terutama menjadi baterai.
Selain Tesla, beberapa perusahaan internasional telah masuk ke Indonesia dalam rangka pembuatan baterai. Perusahaan tersebut antara lain LG Chem dan CATL. Sementara, beberapa perusahaan telah masuk dalam industri smelter Nikel yang menjadi bahan baku baterai.
Kedua, selain kabar baik dari Tesla, pengumuman holding perusahaan baterai di Indonesia juga menjadi sentimen positif bagi saham nikel pada Jumat lalu.
Pada Jumat (26/3), Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) resmi mengumumkan pendirian Indonesia Battery Holding (IBH) yang bernama lengkap Indonesia Battery Corporation (IBC).
Ketiga, menurut data London Metal Exchange (LME), harga nikel kontrak 3 bulan berhasil menguat kembali ke US$ 16.312/ton pada Jumat (26/3). Angka ini naik 1,87% dari penutupan sebelumnya yang sebesar US$ 16.012/ton.
Penguatan pada Jumat lalu menandakan harga nikel mengalami rebound, setelah dua hari sebelumnya mengalami pelemahan secara beruntun.
NEXT: Yang Punya Saham ANTM-INCO-TINS, Cek!
Antam (ANTM)
Penguatan trio saham nikel di Jumat harus terhenti pada Senin kemarin (29/2). Para pelaku saham tampaknya berbondong-bondong melego saham-saham nikel, memanfaatkan momentum penguatan pada perdagangan Jumat lalu.
Pada Senin (29/3), saham ANTM yang paling anjlok di antara yang lainnya, setelah terjun bebas dan menyentuh auto rejection bawah (ARB) 7,00% ke Rp 2.260/saham. Praktis, hal tersebut membuat ANTM menjadi pecundang sebagai top losers kemarin.
Bahkan, ANTM berada di peringkat ketiga dari 10 besar saham laggard alias saham pemberat indeks kemarin.
Dengan kapitalisasi pasar yang terhitung besar, Rp 54,31 triliun, anjloknya ANTM sampai ARB membuat gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terbatas hingga ambles ke zona merah.
IHSG kemarin ditutup melorot 0,44% ke posisi 6.166,82. Apalagi, ANTM menjadi nomor satu saham yang mencatatkan nilai transaksi tertinggi, yakni Rp 1,06 triliun, pada perdagangan awal pekan ini.
Merosotnya ANTM juga diwarnai aksi jual bersih oleh asing sebesar Rp 104,60 miliar.
Sebelumnya, ANTM mencatatkan kinerja yang positif di tahun lalu, dengan raihan laba bersih perusahaan selama 2020 meroket hingga 492,90% secara tahunan (year on year (YoY). Laba bersihANTM tahun lalu mencapai Rp 1,14 triliun, melesat jauh dari tahun sebelumnya yang senilai Rp 193,85 miliar.
Adapun untuk produksi dan penjualan feronikel tahun ini ditargetkan sebanyak 26 ribu ton nikel dalam feronikel (TNi). Target ini tak jauh berbeda dari capaian produksi dan penjualan di tahun lalu yang masing-masing 25.970 TNi dan 26.163 TNi.
Kabar terbaru, menurut keterbukaan informasi pada 17 Maret 2021, total biaya eksplorasi preliminary unaudited Antam di Februari 2021 mencapai Rp 3,69 miliar, dengan fokus pada komoditas emas, nikel dan bauksit.
Khusus nikel, Antam sedang melakukan eksplorasi nikel di daerah Pomalaa dan Tapunopaka, Sulawesi Tenggara serta Buli, Halmahera Timur.
Timah (TINS)
Sama seperti ANTM, TINS juga kemarin ditutup sebagai top losers setelah tersungkur 6,29% ke Rp 1.640/saham. Saham TINS juga ramai ditransaksikan, menduduki peringkat delapan saham dengan nilai transaksi terbesar, yakni Rp 156,3 miliar.
Asing pun ramai-ramai melego TINS dengan catatan jual bersih Rp 6,06 miliar.
Sebenarnya, kinerja TINS sedang tertekan, setidaknya sejak dua tahun terakhir. Menurut laporan keuangan perusahaan, TINS terpaksa masih membukukan kerugian senilai Rp 340,59 miliar.
Namun kerugian ini sudah berkurang 44% dibanding dengan kerugian perusahaan di akhir Desember 2019 yang mencapai Rp 611,28 miliar.
Vale Indonesia (INCO)
Bersama ANTM dan TINS, INCO juga masuk ke dalam daftar top losers kemarin, setelah ambles 2,99% ke Rp 4.540/saham. Meskipun 'memerah', asing membukukan beli bersih TINS Rp 16,69 miliar.
Selain itu, saham INCO juga ramai ditransaksikan pada Senin (26/3), dengan catatan transaksi sebesar Rp 178,7 miliar.
Tahun lalu, INCO membukukan kinerja yang positif. Laba bersih perusahaan mencapai US$ 82,82 juta atau setara denganRp 1,16 triliun (kurs Rp 14.000/US$) di tahun pandemi 2020. Angka ini naik 44,28% dibandingkan dengan 2019 yang sebesar US$ 57,40 juta atau setara Rp 804 miliar.
Di 2020, Vale Indonesia telah memproduksi 72.237 metrik ton nikel dalam matte di, 2% lebih tinggi dibandingkan produksi tahun 2019.
Untuk belanja modal tahun ini, Vale mengeluarkan sekitar US$ 152,1 juta, mengalami penurunan dari yang dikeluarkan pada tahun 2019 sebesar US$ 166,6 juta.
Terbaru, pada Februari 2021 kegiatan eksplorasi Vale masih berlanjut di daerah-daerah didalam Kontrak Karya, yakni BlokSorowako dan Sorowako Outer Area di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Selain itu di Blok Bahodopi d iKabupaten Morowali, Sulawesi Tengah serta Blok Pomalaa di Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.
Adapun biaya eksplorasi senilai US$ 492.926 atau setara dengan Rp 6,9 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hati-hati! 10 Saham Ini Babak Belur Kemarin, Mayoritas ARB
