Jangan Menyerah, Rupiah!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 March 2021 09:25
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Sepertinya pasar mulai tenang setelah 'badai besar' yang disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.

Pada Senin (29/3/2021), US$ 1 dibanderol Rp 14.410 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dengan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu atau stagnan.

Namun beberapa menit kemudian rupiah berhasil masuk zona hijau. Pada pukul 09:05 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14 di mana rupiah menguat tipis 0,03%.

Sepanjang minggu lalu, rupiah melemah 0,07% di hadapan dolar AS secara point-to-point. Dolar AS kini sudah di atas 14.400. Sepanjang 2021, rupiah sudah terdepresiasi 2,64% terhadap dolar AS.

Walau masih melemah, bukan berarti tidak ada harapan buat rupiah. Pekan lalu, depresiasi rupiah lebih landai ketimbang pekan sebelumnya yaitu 0,14%. Juga lebih tipis dibandingkan pekan yang berakhir 12 Maret 2021 yakni 0,63%.

Ya, sepertinya tekanan di pasar keuangan global (termasuk Indonesia) mulai reda. Akhir-akhir ini, tekanan tersebut bersumber dari tren kenaikan yield surat utang pemerintah AS. Sejak awal 2021, yield obligasi pemerintah Presiden Joseph 'Joe' Biden sudah naik 75,34 basis poin (bps).

Akan tetapi, yield instrumen ini turun 7,2 bps pada pekan lalu. Sejak menyentuh kisaran 1,7%, tertinggi dalam 14 bulan terakhir, yield berangsur turun.

Halaman Selanjutnya --> Ekonomi AS Belum 'Sembuh' Betul

Penurunan yield tidak lepas dari sejumlah data ekonomi AS yang kurang oke. Paling anyar, inflasi AS (yang dicerminkan oleh Personal Consumption Expenditure/PCE inti) pada Februari 2021 ada di 1,4% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Melambat dibandingkan laju Januari 2021 yang sebesar 1,5%.

Secara bulanan (month-to-month) laju PCE inti juga melambat. Pada Februari 2021, angkanya adalah 0,1% dibandingkan 0,2% pada bulan sebelumnya.

Ini menandakan bahwa permintaan di Negeri Adikuasa belum pulih betul. Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), yang membuat 9,5 juta orang masih mengganggur, membuat permintaan masih lemah.

"Kami memang memperkirakan inflasi akan naik tahun ini, Namun tidak besar dan berkelanjutan," tegas Jerome 'Jay' Powell, Ketua Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), dalam Rapat Kerja bersama Kongres, pekan lalu.

Oleh karena itu, kemungkinan besar The Fed tidak akan melonggarkan kebijakan moneter dalam waktu dekat. Suku bunga acuan akan tetap bertahan rendah mendekati 0%, dan gelontoran likuditas melalui quantitative easing sebesar US$ 120 miliar/bulan terus berjalan.

Perkembangan ini membuat investor tidak lagi berani 'bertaruh' bahwa yield bisa naik terus. Akhirnya yield terkoreksi sehingga membuat rupiah punya ruang terapresiasi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular