Cek! Survei Ini Tunjukkan Bagaimana Ngerinya Dolar AS

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 March 2021 17:10
Ilustrasi dollar
Foto: Ilustrasi (ist)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah belakangan ini susah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS). Pada perdagangan hari ini, Jumat (26/3/2021) rupiah nyaris stagnan sepanjang perdagangan, sebelum akhirnya menguat tipis 0,07% ke Rp 14.410/US$.

Sementara sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,07%, dan sudah membukukan pelemahan 6 pekan bertuntun. Tidak hanya rupiah, mata uang Asia juga sulit menaklukan dolar AS.

Kuatnya dolar AS tercermin dari survei 2 mingguan yang dilakukan Reuters.

Survei tersebut menggunakan skala -3 sampai 3, angka negatif berarti pelaku pasar mengambil posisi beli (long) mata uang Asia dan jual (short) dolar AS. Semakin mendekati -3 artinya posisi long yang diambil semakin besar.

Sementara angka positif berarti short mata uang Asia dan long dolar AS, dan semakin mendekati angka 3, semakin besar posisi short mata uang Asia.

Survei terbaru yang dirilis Kamis (25/3/2021) kemarin menunjukkan angka positif di semua mata uang utama Asia. Artinya, pelaku pasar mengambil posisi beli dolar AS terhadap 9 mata uang utama Asia.

Pelaku pasar sudah mengambil posisi jual terhadap rupiah sejak 11 Maret, dan semakin besar dalam survei terbaru dimana angkanya 0,45 dari 2 pekan lalu 0,22.

Pada survei yang dirilis 11 Maret lalu, selain rupiah, pelaku pasar juga mengambil posisi jual terhadap dolar Singapura, won Korea Selatan, peso Filipina dan baht Thailand. Sementara untuk rupee India, dolar Taiwan, dan yuan China pelaku pasar masih mengambil posisi beli.

Tetapi di survei terbaru, pelaku pasar mengambil posisi jual di semua mata uang tersebut, dan ini menjadi yang pertama kalinya dalam satu tahun terakhir.

Survei ini terbilang cukup mencerminkan pergerakan rupiah sejak tahun lalu. Kala pelaku pasar mengambil posisi jual rupiah melemah, tetapi ketika mengambil posisi beli rupiah cenderung menguat.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Ekspektasi Pemulihan Ekonomi Bikin Dolar AS Perkasa

Penguatan dolar AS tak lepas dari ekspektasi pelaku pasar terhadap pemulihan ekonomi AS pasca dihantam pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Gubernur bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, dalam rapat kerja bersama Kongres AS di pekan ini, menyebut perekonomian AS akan sangat kuat di tahun 2021.

"(Perekonomian AS) akan sangat-sangat kuat pada tahun ini. Kemungkinan besar seperti itu," tegas Powell menjawab pertanyaan tentang prospek ekonomi Negeri Paman Sam, Rabu (25/3/2021).

Pulihnya perekonomian AS bisa menjadi kabar baik sekaligus kabar buruk juga. Kabar baiknya, ketika negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia ini pulih, negara-negara lainnya juga akan terkerek bangkit. Sebab roda bisnis akan berputar lebih cepat, ekspor ke Negeri Paman Sam akan meningkat.

Tetapi kabar buruknya, ada risiko terjadinya capital outflow dari negara-negara emerging market menuju Amerika Serikat.

Seperti diketahui, proses pemulihan ekonomi AS di tahun ini serta kenaikan inflasi membuat yield obligasi (Treasury) AS terus menanjak hingga mencapai level tertinggi sejak Januari 2020.

Artinya, yield Treasury AS kini berada di level pra pandemi, sebelum The Fed membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE).

Kenaikan yield Treasury membuat selisihnya dengan yield obligasi negara berkembang menjadi menyempit yang memicu capital outflow.

Dari dalam negeri misalnya, data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), pada periode 1 sampai 22 Maret kepemilikan asing di obligasi Indonesia sebesar Rp 952,8 triliun, turun sekitar Rp 18,6 triliun dibandingkan posisi akhir Februari lalu. Data tersebut menunjukkan capital outflow yang cukup besar terjadi di pasar obligasi Indonesia, yang akhirnya menekan rupiah.

Selain itu. ketika perekonomian AS sudah pulih, maka The Fed akan mulai melakukan normalisasi kebijakan moneter. Hal pertama yang dilakukan adalah mengurangi jumlah QE atau yang dikenal dengan istilah tapering. Saat ini nilai QE The Fed sebesar 120 miliar per bulan.

Tapering merupakan sesuatu yang ditakutkan pelaku pasar, karena dapat memicu gejolak pasar finansial global, yang dikenal dengan istilah taper tantrum. Berkaca dari pengalaman pada tahun 2013, saat taper tantrum terjadi dolar AS menjadi sangat perkasa.

Isu tapering sudah bergulir sejak awal tahun ini, tetapi The Fed berulang kali menegaskan belum akan melakukan hal tersebut dalam waktu dekat.
Hal yang sama diungkapkan Powell dalam rapat kerja dengan kongres AS.

Powell mengatakan The Fed belum memulai diskusi kapan waktu yang tepat untuk melakukan tapering.

"Dalam hal kebijakan moneter ke depannya, kami telah mengatakan akan mulai mengurangi QE ketika kami melihat kemajuan substansial menuju target full employment serta rata-rata inflasi 2%," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International Selasa (25/3/2021).

"Ketika kemajuan substansial tersebut terjadi, kami akan menyampaikan kapan waktunya melakukan tapering," tambahnya

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular