Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Berbagai sentimen negatif mendera mata uang Tanah Air.
Pada Rabu (24/3/2021), US$ 1 setara dengan Rp 14.390 kala pembukaan pasar spot. Sama persis dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya atau stagnan.
Namun dalam hitungan menit rupiah masuk zona merah. Pada pukul 09:08 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.430 di mana rupiah melemah 0,28%.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan penguatan tipis 0,07%. Ini adalah sebuah fenomena langka akhir-akhir ini. Sejak awal Maret, rupiah cuma bisa menguat empat kali.
Namanya fenomena langka pasti jarang terjadi. Hari ini, rupiah harus menerima kenyataan terusir dari jalur hijau.
Secara musiman, ini memang saatnya rupiah melemah. Jelang akhir kuartal, kebutuhan valas korporasi sedang tinggi karena pembayaran dividen, utang jatuh tempo, dan sebagainya. permintaan valas yang tinggi membuat rupiah tertekan.
Dari sisi eksternal, padahal ada sentimen yang semestinya bisa menolong rupiah yaitu penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Pada pukul 07:45 WIB, yield surat utang pemerintahan Presiden Joseph 'Joe' Biden turun 2,8 basis poin (bps) menjadi 1,6101%. Yield instrumen ini kian jauh dari di bawah 1,7%, level tertinggi dalam 14 bulan yang dicapai pada akhir pekan lalu.
Kenaikan yield US Treasury Bonds menjadi momok bagi pasar keuangan global belakangan ini. Yield obligasi pemerintah AS yang semakin tinggi membuat instrumen ini semakin menarik.
Bayangkan saja, yield surat utang tenor 10 tahun sempat hampir menyamai dividend yield indeks S&P 500. Artinya dengan risiko yang minim (bahkan tidak ada karena obligasi dijamin oleh negara), cuan yang didapat bisa bersaing dengan aset berisiko. Siapa yang tidak tertarik?
So dengan penurunan yield hari ini seharusnya pelaku pasar bisa mengambil napas barang sejenak. Tekanan terhadap aset-aset berisiko, termasuk di Indonesia, bisa berkurang. Benar kan?
Ternyata tidak juga. Walau yield obligasi pemerintah AS turun, tetapi ada sentimen lain yang membuat rupiah melemah.
Halaman Selanjutnya --> Biden Beneran Mau Naikkan Tarif Pajak Ya?
Pertama adalah rencana kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) di AS yang sepertinya semakin terang-benderang. Ini tersirat dari pernyataan Menteri Keuangan Janet Yellen dalam Rapat Kerja dengan Komite Jasa Keuangan House of Representatives, dini hari tadi waktu Indonesia.
"Begitu ekonomi sudah kuat lagi, Bapak Presiden Biden akan membuat rencana jangka panjang untuk mengatasi masalah kurangnya investasi. Caranya adalah membangun infrastruktur, berinvestasi untuk mengantisipasi risiko iklim, berinvestasi di sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, dan industri manufaktur. Ini tentu perlu dibiayai," jelas Yellen, seperti dikutip dari Reuters.
Baca: Mister Biden Mau Naikin Pajak Ya? RI Untung atau Buntung Nih?
Pada masa kampanye, Biden memang mengusulkan kenaikan tarif PPh Badan dari 21% menjadi 28%. Menurut riset Citi, kenaikan tarif PPh dari 21% menjadi 25% saja sudah menggerus laba emiten anggota S&P 500 sekitar 4-5%. Kalau tarif naik sampai 28%, maka laba akan turun 6-7%.
"Teorinya jika Anda membeli saham sebuah emiten karena ekspektasi kenaikan laba akibat dorongan stimulus, maka perlu dicatat bahwa laba itu akan tergerus oleh pajak," kata Tobias Levkovich, US Equity Strategist di Citi, seperti dikutip dari Reuters.
Kenaikan tarif pajak di AS bisa menjadi sentimen negatif. Wall Street akan tertekan karena persepsi penurunan laba perusahaan. Kalau Wall Street merah, maka pasar keuangan lain akan mengikuti, termasuk Indonesia.
Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,94%, S&P 500 terkoreksi 0,76%, dan Nasdaq Composite ambles 1,12%. Pantas saja rupiah ikut merah...
Kedua, pelaku pasar tengah memantau perkembangan hubungan AS dan negara-negara barat yang memanas. AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi kepada pejabat pemerintah China yang dituding terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas di Xinjiang.
"Di tengah kecaman internasional, (China) terus melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang," tegas Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, dalam keterangan tertulis bersama.
China tentu tidak terima. Beijing langsung membalas dengan memberlakukan sanksi kepada sejumlah anggota parlemen Uni Eropa, Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa, serta dua institusi lainnya.
"Sanksi terhadap kami didasari atas dusta dan tidak dapat diterima," tegas Wang Yi, Menteri Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) belum kelar, sekarang ada masalah China vs AS dan sekutunya. Jika friksi ini sampai merembet ke aspek ekonomi, seperti perdagangan dan investasi, maka prospek pemulihan ekonomi dunia akan semakin samar-samar.
Halaman Selanjutnya --> Eropa 'Dikunci' Lagi
Ketiga, dinamika pandemi virus corona cukup mengkhawatirkan. Per 23 Maret 2021, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan jumlah pasien positif corona di seluruh negara adalah 123.216.178 orang. Bertambah 223.334 orang dari hari sebelumnya.
Dalam 14 hari terakhir (10-23 Maret 2021), rata-rata penambahan pasien baru adalah 450.655 orang per hari. Jauh lebih tinggi dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yaitu 394.113 orang setiap harinya.
Eropa, yang sempat 'adem', kini kembali dibuat kalang-kabut oleh lonjakan kasus baru. WHO mencatat, jumlah pasien positif corona di Benua Biru per 23 Maret 2021 adalah 42.870.334 orang. Bertambah 162.860 orang dari hari sebelumnya.
Selama dua pekan terakhir, rata-rata tambahan pasien baru adalah 198.751 orang per hari. Melonjak dibandingkan rerata 14 hari sebelumnya yakni 162.341 orang per hari.
Oleh karena itu, Eropa kini dinilai sudah terpukul oleh gelombang serangan ketiga (third wave outbreak) virus corona. Gelombang yang membuat sejumlah negara kembali memperketat pembatasan sosial (social distancing) bahkan sampai karantina wilayah (lockdown).
Padahal berbagai lembaga belum lama ini merevisi ke atas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam World Economic Outlook edisi Januari 2021, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia tumbuh 5,5% pada 2021. Naik dibandingkan proyeksi yang dibuat pada Oktober 2020 yaitu 5,2%.
Kemudian Bank Dunia dalam laporan World Economic Prospect edisi Januari 2021 memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) dunia akan tumbuh 4% tahun ini. Naik 0,9 poin persentase dari proyeksi yang dibikin pada Juni 2020.
Namun jika lockdown merebak lagi, maka aktivitas dan mobilitas publik menjadi terhambat. 'Roda' ekonomi tidak akan mampu berputar cepat, sehingga harapan pemulihan ekonomi menjadi penuh tanda tanya.
TIM RISET CNBC INDONESIA