
Rupiah Balik ke Atas Rp 14.400/US$, Ada Apa Gerangan?

Pertama adalah rencana kenaikan tarif Pajak Penghasilan (PPh) di AS yang sepertinya semakin terang-benderang. Ini tersirat dari pernyataan Menteri Keuangan Janet Yellen dalam Rapat Kerja dengan Komite Jasa Keuangan House of Representatives, dini hari tadi waktu Indonesia.
"Begitu ekonomi sudah kuat lagi, Bapak Presiden Biden akan membuat rencana jangka panjang untuk mengatasi masalah kurangnya investasi. Caranya adalah membangun infrastruktur, berinvestasi untuk mengantisipasi risiko iklim, berinvestasi di sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, dan industri manufaktur. Ini tentu perlu dibiayai," jelas Yellen, seperti dikutip dari Reuters.
Baca: Mister Biden Mau Naikin Pajak Ya? RI Untung atau Buntung Nih?
Pada masa kampanye, Biden memang mengusulkan kenaikan tarif PPh Badan dari 21% menjadi 28%. Menurut riset Citi, kenaikan tarif PPh dari 21% menjadi 25% saja sudah menggerus laba emiten anggota S&P 500 sekitar 4-5%. Kalau tarif naik sampai 28%, maka laba akan turun 6-7%.
"Teorinya jika Anda membeli saham sebuah emiten karena ekspektasi kenaikan laba akibat dorongan stimulus, maka perlu dicatat bahwa laba itu akan tergerus oleh pajak," kata Tobias Levkovich, US Equity Strategist di Citi, seperti dikutip dari Reuters.
Kenaikan tarif pajak di AS bisa menjadi sentimen negatif. Wall Street akan tertekan karena persepsi penurunan laba perusahaan. Kalau Wall Street merah, maka pasar keuangan lain akan mengikuti, termasuk Indonesia.
Dini hari tadi waktu Indonesia, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,94%, S&P 500 terkoreksi 0,76%, dan Nasdaq Composite ambles 1,12%. Pantas saja rupiah ikut merah...
Kedua, pelaku pasar tengah memantau perkembangan hubungan AS dan negara-negara barat yang memanas. AS, Uni Eropa, Inggris, dan Kanada memberlakukan sanksi kepada pejabat pemerintah China yang dituding terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis minoritas di Xinjiang.
"Di tengah kecaman internasional, (China) terus melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Xinjiang," tegas Antony Blinken, Menteri Luar Negeri AS, dalam keterangan tertulis bersama.
China tentu tidak terima. Beijing langsung membalas dengan memberlakukan sanksi kepada sejumlah anggota parlemen Uni Eropa, Komite Politik dan Keamanan Uni Eropa, serta dua institusi lainnya.
"Sanksi terhadap kami didasari atas dusta dan tidak dapat diterima," tegas Wang Yi, Menteri Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) belum kelar, sekarang ada masalah China vs AS dan sekutunya. Jika friksi ini sampai merembet ke aspek ekonomi, seperti perdagangan dan investasi, maka prospek pemulihan ekonomi dunia akan semakin samar-samar.
Halaman Selanjutnya --> Eropa 'Dikunci' Lagi
(aji/aji)