
Deskripsi Pasar Hari Ini: Tantrum Without Tapering!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan dalam negeri tidak pada kondisi yang menyenangkan sejak dua bulan terakhir. Dana asing terus mengalir ke luar negeri, sehingga membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Sayangnya kondisi itu bukan karena masalah dari Indonesia, melainkan Amerika Serikat (AS). Indonesia salah satu negara yang apes ketiban gejolak yang terjadi dari negeri Paman Sam tersebut.
"Menurut saya gak ada (persoalan dari Indonesia). Persoalan itu dari AS," ungkap Ekonom Senior Chatib Basri kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/3/2021).
Yield UST mengalami kenaikan sampai dengan 85% menjadi 1,7% sejak akhir Januari. Hal ini mendorong kenaikan yield obligasi di banyak negara termasuk Indonesia sebesar 11%.
![]() |
Dalam periode yang sama dana asing terus keluar. Khusus pasar obligasi mencatat outflow Rp 31,63 triliun. Nilai tukar rupiah melemah cukup dalam dari posisi Rp 13.900 menjadi Rp 14.400. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terlihat sepi dan tidak bergairah, bergerak di kisaran 6200.
Kondisi hari ini sudah diprediksi oleh Mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini. Pemulihan ekonomi AS diperkirakan lebih cepat, efek dari kebijakan fiskal yang agresif. Hal itu mendorong inflasi sehingga diperkirakan Bank Sentral AS the Fed akan menaikkan suku bunga acuan.
"Hanya saya nggak nyangka akan secepat ini," ujarnya.
Pekan lalu The Fed menegaskan akan tetap mempertahankan kebijakan moneter longgarnya tersebut demi pasar tenaga kerja dan ekonomi yang membaik. Meskipun inflasi tahun ini bisa menyentuh angka 2,2%, di atas rerata patokan yang biasa mereka pakai untuk mencegah mesin ekonomi terlalu panas (overheated).
"Kami memang berharap bahwa akan ada kemajuan lebih cepat di pasar tenaga kerja dan inflasi setelah sekian tahun, berkat kemajuan vaksin, dan karena dukungan fiskal yang kita dapatkan," tutur Ketua The Fed Jerome Powell sebagaimana dikutip CNBC International.
Artinya, inflasi boleh saja tinggi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun (yang jadi acuan pasar) boleh naik mendekati angka 2%, suku bunga nyaris nol persen akan dipertahankan.
Menurut Chatib pelaku pasar tidak begitu percaya dengan pernyataan The Fed. Sehingga pasar bergerak sebaliknya, UST terus saja naik mengabaikan Bank Sentral. Pasar lebih memilih mengambil posisi sebelum kenaikan suku bunga acuan benar akan dinaikkan.
"Makanya disebut tantrum without tapering. Jadi yang terjadi sekarang adalah adu kuat antara market dan The Fed," tegas Chatib.
Dari dalam negeri, menurut Chatib sudah cukup baik. Pemulihan ekonomi terus berlanjut sejak kuartal III-2020 pasca kontraksi dalam 5,32% di kuartal sebelumnya. Pengendalian covid juga semakin baik serta vaksinasi yang terus berjalan.
"Dalam negeri, pemerintah hanya perlu melanjutkan agar vaksinasi berjalan cepat dan lancar," ujarnya.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh! Tapering Membuka Jalan Dolar AS Menuju Rp 15.000