Heboh Tesla, Ini Bocoran Target Harga ANTM-INCO Cs dari CLSA

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
23 March 2021 15:27
Pabrik Tesla di Sparks, Nevada (Uptin Saiidi | CNBC)
Foto: Pabrik Tesla di Sparks, Nevada (Uptin Saiidi | CNBC)

Jakarta, CNBC Indonesia - Proyek pabrik baterai untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV) yang digaungkan pemerintah menjadi sentimen positif untuk emiten nikel dan otomotif. Tak terkecuali, untuk dua emiten nikel PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO) serta emiten raksasa otomotif PT Astra International Tbk (ASII).

Lalu bagaimana rekomendasi dan target harga ketiga saham tersebut seiring adanya proyek baterai kendaraan di Tanah Air?

Kabar mengenai pabrik baterai ini menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini, Bahkan, beberapa waktu lalu, sempat geger kabar bahwa pabrikan mobil listrik Amerika Serikat (AS) besutan Elon Musk Tesla Inc. akan membangun mobil listrik di Tanah Air.

Walaupun, akhirnya dikonfirmasi oleh pemerintah bahwa Tesla tidak berinvestasi dalam produksi mobil listrik, melainkan Energy Storage System (ESS). ESS ini semacam 'power bank' dengan giga baterai skala besar yang bisa menyimpan tenaga listrik besar hingga ratusan mega watt (MW).

Dengan bermodalkan adanya cadangan nikel terbesar di dunia, pemerintah berupaya untuk ikut bergabung ke dalam jaringan mobil listrik global. Sebagai informasi, nikel berguna sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik.

Seiring dengan ambisi tersebut, pemerintah meluncurkan sejumlah insentif besar-besaran untuk menarik investasi.

Pemerintah berkeinginan untuk membentuk rantai pasokan lengkap dari hulu ke hilir, dengan penambangan nikel, pemrosesan hilir, baterai sampai manufaktur mobil.

Sekuritas yang didirikan di Hong Kong pada 1986, CLSA Sekuritas pun merilis riset soal sektor ini berikut dengan target harga saham ketiga emiten tersebut.

CLSA juga mengulas mengenai outlook terkait wacana kendaraan listrik, ketiga emiten yang disebut juga akan mendapat manfaat terbesar dari inisiatif pemerintah yang berani ini.

Apalagi, produsen mobil seperti Hyundai dan Toyota telah berkomitmen untuk membangun mobil ramah lingkungan secara lokal.

Hyundai sedang menyiapkan pabrik dengan produksi yang dijadwalkan akan dimulai lebih awal 2022. Fasilitas ini pertama-tama akan memproduksi kendaraan internal combustion engine (ICE) dan baru beralih membuat EV kemudian.

Sementara, Toyota berencana akan berinvestasi US$ 2 miliar atau setara dengan Rp 28 triliun (kurs Rp 14.000/US$) untuk memproduksi kendaraan listrik full pada 2023-2024.

Sudah sejak 2019, pemerintah memulai rencananya untuk membangun ekosistem industri kendaraan listrik terintegrasi.

Pemerintah menggelontorkan insentif pajak untuk meningkatkan permintaan kendaraan listrik dan langkah-langkah pendukung untuk mendukung produksi baterai dan kendaraan lokal.

Tujuan dari kebijakan pemerintah ini adalah agar jumlah kendaraan listrik alias EV hibrida (HEV), EV hibrida plug-in (PHEV), EV baterai (BEV) dan fuel cell EV (FCEV) akan mencapai 20% dari semua kendaraan buatan lokal pada tahun 2025, dan menjadi 30% pada tahun 2035.

Untuk mendorong adopsi kendaraan listrik ini, insentif pemerintah didasarkan pada emisi kendaraan. Misalnya, pemerintah telah mengurangi pajak barang mewah untuk kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) menjadi nol.

"Kami yakin pemanis seperti itu akan tetap ada hingga produksi lokal dimulai, yang bisa terjadi paling cepat 2023-24," jelas CLSA dalam risetnya, dikutip CNBC Indonesia, Selasa (23/3).

NEXT: Intip Bocoran Target Harga ANTM, INCO dan ASII

Lebih lanjut, CLSA menilai, penerapan proyek kendaraan listrik harus benar-benar lepas landas ketika produksi dan infrastruktur dalam negeri, misalnya stasiun pengisian, sudah siap. Ini karena keduanya dapat menurunkan biaya kepemilikan (cost of ownership).

Untuk mempercepat, perusahaan sektor swasta juga diajak oleh pemerintah untuk membantu membangun jaringan pengisian daya dan pertukaran baterai kendaraan listrik.

Ambisi besar pemerintah di atas ditopang oleh adanya cadangan nikel, yang berperan sentral untuk pembuatan baterai. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah berubah dari penambang bijih menjadi pengolah nikel hilir dan eksportir utama besi dan baja.

Indonesia juga telah menarik sejumlah pemain global utama untuk melakukan investasi sebesar US$ 30-35 miliar dalam produksi baterai EV, dengan beberapa di antaranya telah direalisasikan.

Adapun pabrik prekursor baterai baru dijadwalkan akan beroperasi pada tahun 2021-2022.

"Dengan bahan baku yang melimpah, dukungan infrastruktur, dan rekam jejak yang sukses, kami yakin negara ini akan menjadi produsen suku cadang EV dan EV yang kompetitif di Asia," ramal CLSA.

Dalam riset ini, CLSA menyematkan rekomendasi outperform rating dengan target harga Rp 6.100 untuk distributor mobil raksasa Tanah Air ASII.

Pada penutupan perdagangan hari ini, Selasa (23/3), ASII ditutup stagnan di harga Rp 5.575/saham dengan nilai transaksi Rp 263,22 miliar. Tercatat dalam sebulan saham ini terkoreksi 2,19%, sementara secara year to date (YTD) juga ambles 10,08%.

Menurut periset CLSA, ASII seharusnya mendapatkan keuntungan dari dominasi Toyota di segmen mobil hybrid. Selain itu, Toyota saat ini juga sedang mengejar teknologi kendaraan listrik baterai alias BEV.

Astra International mendominasi pasar mobil ICE dengan 50% pangsa di segmen roda empat dan 79% pangsa pasar kendaraan roda dua. Merek mobil andalan ASII, antara lain Toyota dan Daihatsu dalam segmen roda empat, serta Honda di segmen roda dua.

Toyota juga berada di garis depan teknologi hybrid secara global dan mengejar pengembangan kendaraan listrik baterai BEV.

Menurut CLSA, setelah meluncurkan beberapa model baru pada tahun 2020, Astra menguasai 79% penjualan mobil listrik di Indonesia, terutama dengan mobil hybrid Toyota hasil impor.

Dengan jaringan dealer yang kuat, layanan purna jual dan pengenalan merek, Astra memiliki posisi yang tepat untuk mendapatkan keuntungan dari inisiasi pemerintah dan berbagai tindakan pendukung. Perusahaan juga bekerja sama dengan pemerintah dalam uji kelayakan EV roda dua.

Sementara, untuk duo emiten nikel ANTM-INCO, CLSA memberi peringkat beli atau buy. ANTM dengan target harga Rp 4.000, sementara untuk INCO Rp 8.600.

Saham ANTM berhasil ditutup menguat di zona hijau sebesar 0,44% ke Rp 2.270/saham di Selasa ini. Dalam sebulan saham emiten nikel dan emas ini sudah anjlok 23,05%. Tetapi, saham ANTM melesat 224,29% secara YTD.

Tidak seperti ANTM, INCO malah merosot ke zona merah sebesar 0,44% ke posisi Rp 4.500/saham. Adapun dalam sebulan terakhir saham INCO sudah jatuh 29,96%. Namun, secara ytd saham ini sudah melejit 47,06%.

Rekomendasi CLSA ini dengan pertimangan karena keduanya sudah bergerak di bidang pertambangan bahan baterai EV yang tak lain adalah nikel. Dengan demikian, kedua emiten ini seharusnya bisa menikmati keuntungan dalam proses persiapan produksi baterai kendaraan listrik.

"Di sisi makro, kami memperkirakan permintaan global yang kuat untuk kendaraan listrik (EV) dapat membantu mengurangi defisit transaksi berjalan dan menciptakan lapangan kerja di Indonesia," jelas periset CLSA Sarina Lesmina dkk dalam riset mereka.

Sebagai informasi, pemerintah juga sudah membuat Indonesia Battery Holding (IBH) yang beranggotakan BUMN seperti Antam, Inalum, dan Pertamina.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular