Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat di perdagangan pasar spot pagi ini. Rupiah boleh melenggang dengan tenang hari ini, karena berbagai beban sudah terangkat.
Pada Selasa (23/3/2021), US$ 1 dihargai Rp 14.380 kala pembukaan perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup pasar spot di posisi Rp 14.400/US$. Sama persis dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu alias stagnan. Padahal rupiah nyaris seharian menghuni zona merah alias melemah.
Tekanan terhadap rupiah datang dari dua sisi. Pertama adalah peningkatan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Yield instrumen ini sempat berada di atas 1,7%, tertinggi dalam 14 hari terakhir.
Mengutip data Refinitiv, saat ini dividend yield indeks S&P 500 di Wall Street adalah 1,93%. Artinya yield US Treasury Bonds memberi keuntungan yang sangat dekat dengan saham di bursa AS.
Padahal saham adalah aset berisiko, uang investor bisa 'hangus' kapan saja. Sementara obligasi adalah aset aman yang dijamin pemerintah. Risiko gagal bayar (default) sangat minim kalau tidak mau dibilang mustahil.
Uang di obligasi juga tidak akan 'hangus', pasti kembali 100% saat sudah jatuh tempo. Plus ada 'bunga' berupa kupon yang dibayarkan setiap bulan. Sudah aman, cuan pula.
Jadi ketika aset yang sangat aman ini menawarkan imbalan investasi yang tinggi, siapa tidak tertarik? Akibatnya, fokus investor tertuju ke pasar obligasi pemerintah AS sehingga aset lain (terutama di negara berkembang) kurang peminat.
Namun hari ini yield obligasi pemerintah AS bergerak turun. Pada pukul 07:24 WIB, yield obligasi pemerintahan Presiden Joseph Joe' Biden tenor 10 tahun berada di 1,691%. Sudah di bawah 1,7%.
Penurunan yield ini membuat pasar keuangan dunia bisa menarik nafas dulu. Tekanan akan berkurang dan ada ruang penguatan, termasuk di pasar valas negara berkembang.
Halaman Selanjutnya --> Lira Turki Masih Melemah, Tapi Tak Dalam Lagi
Kedua adalah perkembangan nilai tukar mata uang lira Turki. Kemarin, lira ditutup melemah 8,07% di hadapan dolar AS setelah sempat terdepresiasi belasan persen.
Langkah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang memecat gubernur bank sentral mendatangkan malapetaka. Sahap Kavcioglu ditunjuk Erdogan menjadi gubernur bank sentral Turki (TCMB) menggantikan Naci Agbal pada Sabtu pekan lalu. Dua hari sebelumnya, Agbal baru menaikkan suku bunga acuan sebesar 200 basis poin (bps) menadi 19%. Ini adalah suku bunga acuan tertinggi sejak Juli 2018.
Kavcioglu punya latar belakang bankir dan anggota parlemen dari Partai Keadilan dan Pembangunan Turki (AK Parti) yang dipimpin oleh Erdogan. Seperti halnya Erdogan, Kavcioglu punya pandangan yang serupa yaitu suku bunga tinggi adalah 'biangnya setan'.
Oleh karena itu, pasar memperkirakan Kavcioglu akan memangkas suku bunga acuan habis-habisan. Di tengah inflasi Turki yang tinggi, pemotongan suku bunga tentu bukan sebuah langkah yang bijak.
Pada Februari 2021, inflasi Turki tercatat 15,61% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year). Ini adalah laju tercepat sejak Juli 2019.
Saat inflasi tinggi, artinya nilai uang semakin tergerus. Oleh karena itu, peredaran uang harus dikendalikan agar tidak terlalu banyak sehingga nilainya tidak jatuh. Caranya ya dengan suku bunga tinggi,agar masyarakat tergerak menyimpan uang di lembaga keuangan yang kemudian membuat peredaran uang di perekonomian menyusut.
Namun jika benar Kavcioglu akan menurunkan suku bunga, maka peredaran lira akan membeludak. 'Harga' lira bakal semakin jatuh karena pasokan yang melimpah. Inflasi pun meroket karena uang tidak ada harganya lagi, yang membuat rakyat menderita.
"Erdogan masih seorang populis-autoritarian, pemahamannya terhadap makroekonomi tidak ada. Hal ini yang kemudian membuat rakyat Turki menderita karena inflasi," kata Jan Dehn, Head of Research Ashmore Group yang berbasis di London (Inggris), seperti dikutip dari Reuters.
Apa yang terjadi Turki memang unik, tidak dialami negara-negara lain. Namun anjloknya lira sedikit banyak mempengaruhi pandangan investor terhadap mata uang negara-negara berkembang.
"Negara berkembang lainnya tentu tidak dalam posisi yang sama seperti Turki. Namun tetap ada efek penularan. Kejadian di Turki menjadi pembenaran bagi pelaku pasar untuk mencairkan keuntungan (profit taking) di negara-negara berkembang lain," papar Masafumi Yamamoto, Chief Currency Strategist di Mizuho Securitites yang berbasis di Tokyo (Jepang), seperti dikutip dari Reuters.
Namun pagi ini ada kabar melegakan. Lira memang masih melemah tetapi depresiasinya melandai. Pada pukul 07:28 WIB, US$ 1 setara dengan TRY 7,83 di mana lira 'hanya' melemah 0,47%.
Tekanan terhadap lira yang mereda bisa menjadi sentimen positif buat pasar keuangan negara berkembang. Investor akan kembali berani masuk ke aset berisiko di Asia, termasuk Indonesia, sehingga mendorong penguatan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA