
Begini Update Rating PTPP Terbaru yang Dirilis Pefindo

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menurunkan peringkat surat utang emiten konstruksi BUMN, PT PP Tbk (PTPP). Surat utang tersebut adalah Obligasi Berkelanjutan II tahun 2018 dan tahun 2019 yang peringkatnya diturunkan menjadi idA dari idA+.
Tidak hanya itu, Pefindo juga menurunkan peringkat Obligasi Perpetual (obligasi bunga abadi) Tahap I PTPP sebesar Rp 150 miliar menjadi idBBB+ dari sebelumnya idA-.
Pefindo menjelaskan, peringkat ini berada dua tingkat di bawah peringkat perusahaan PTPP untuk memasukkan sifat subordinasi dengan kebijakan penuh dalam penangguhan kupon.
"Tindakan pemeringkatan tersebut mencerminkan pandangan kami bahwa belanja modal PTPP akan tetap tinggi untuk kebutuhan anak perusahaan di sektor infrastruktur dan properti, sementara penurunan kegiatan usaha konstruksi dan properti di tengah kondisi pandemi akan menekan perolehan arus kas PTPP," ungkap Pefindo, dalam keterangannya, dikutip Kamis (18/3/2021).
Akibatnya, Pefindo memperkirakan, profil leverage keuangan PTPP dalam periode 3 tahun mendatang akan tergolong agresif dengan proyeksi rasio utang bersih terhadap EBITDA (laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) di atas 7 kali.
Sejalan dengan penurunan peringkat tersebut, Pefindo juga merevisi prospek peringkat perusahaan menjadi stabil dari sebelumnya negatif.
PTPP diharapkan melunasi obligasi perpetual tahap I sebesar Rp 150 miliar yang akan jatuh tempo pada 15 Mei 2021, menggunakan kas internal. Per 31 Desember 2021, PTPP tercatat mempunyai kas dan setara kas sebesar Rp 7,5 triliun.
Obligor dengan peringkat idA memiliki kemampuan yang kuat dibandingkan obligor Indonesia lainnya untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjangnya.
"Walaupun demikian, kemampuan obligor mungkin akan mudah terpengaruh oleh perubahan buruk keadaan dan kondisi ekonomi dibandingkan obligor dengan peringkat lebih tinggi," tulis Pefindo.
Sementara itu, efek utang dengan peringkat idBBB mengindikasikan parameter proteksi yang memadai dibandingkan efek utang Indonesia lainnya. Walaupun demikian, kondisi ekonomi yang buruk atau keadaan yang terus berubah akan dapat memperlemah kemampuan emiten untuk memenuhi komitmen keuangan jangka panjang atas efek utang.
Lebih lanjut, Pefindo juga menjelaskan, peringkat perusahaan mencerminkan keberadaan PTPP yang kuat di industri konstruksi nasional, sumber pendapatan yang beragam, dan fleksibilitas keuangan yang relatif kuat.
"Peringkat tersebut dibatasi oleh leverage keuangan yang agresif dalam jangka waktu dekat ke menengah akibat belanja modal yang signifikan, risiko dari ekspansi ke bisnis baru, dan lingkungan usaha yang fluktuatif," tulis Pefindo.
Meski demikian, peringkat dapat dinaikkan jika PTPP memperbaiki indikator leverage keuangan dan debt service coverage secara berkelanjutan jika arus kas yang lebih stabil. Peringkat juga dapat diturunkan jika perusahaan berutang lebih besar daripada yang diproyeksikan tanpa peningkatan EBITDA yang sesuai secara berkelanjutan.
Didirikan pada tahun 1953, PTPP adalah salah satu perusahaan konstruksi dan teknik, pengadaan, dan konstruksi (EPC) terbesar di Indonesia. Saat ini, PTPP juga berkembang ke sektor properti, realty dan pracetak, serta penyewaan alat berat dan investasi di sektor energi dan infrastruktur.
Sampai dengan 31 Desember 2020, pemegang sahamnya adalah pemerintah Indonesia sebesar 51,0%, Koperasi Karyawan (Kopkar) 0,07%, dan pemegang saham publik 48,93%.
PTPP juga baru melaporkan kinerja keuangan 2020 di BEI pada Rabu kemarin (17/3).
Mengacu laporan keuangan, pada akhir 2020 lalu, induk usaha PT PP Properti Tbk (PPRO) ini terpaksa membukukan penurunan laba bersih yang tajam hingga 84,28% secara tahunan (year on year/YoY).
Tahun lalu, laba bersih perusahaan tercatat sebesar Rp 128,75 miliar, jatuh dari posisi akhir 2019 yang senilai Rp 819,46 miliar.
Nilai laba bersih per saham juga turun jauh dari sebelumnya Rp 132 menjadi sebesar Rp 21.
Turunnya laba bersih ini disebabkan karena pendapatan perusahaan juga mengalami kontraksi 32,84% YoY menjadi sebesar Rp 15,83 triliun. Nilai ini turun dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 23,57 triliun.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gokil! Tiba-tiba Saham WSKT dkk Terbang, Ada Apa Gerangan?
