Newsletter

Akhirnya, Aksi "Powell Rangers" Bakal Selamatkan Pasar

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 March 2021 06:23
Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell
Foto: Ketua Federal Reserve Board Jerome Powell (REUTERS/Yuri Gripas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal Indonesia kembali terkena koreksi triple combo, di mana bursa saham, obligasi, dan pasar uang kompak ditutup di zona merah. Bakal kebangetan jika pasar keuangan masih tertekan hari ini di tengah kabar bagus dari Amerika Serikat (AS).

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di teritori negatif pada perdagangan Rabu (17/3/2021), dengan melemah 0,51% (32,47 poin) ke 6.277,229. Ini menjadi koreksi tiga hari beruntun dipicu kekhawatiran naiknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS.

Data perdagangan mencatat 194 saham menguat, 266 tertekan dan 174 lainnya flat. Nilai transaksi bursa masih terbatas yakni sebesar Rp 10,2 triliun, tetapi investor asing kali ini melakukan aksi beli dengan nilai pembelian bersih (net buy) Rp 196,2 miliar di pasar reguler.

Mayoritas harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) juga ditutup melemah, menyusul kembali naiknya imbal hasil obligasi pemerintah AS di tengah penantian pelaku pasar terkait hasil rapat bank sentral AS.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun kemarin mencetak rekor tertinggi baru pada 1,648%. Mayoritas SBN acuan pun kembali dilepas oleh investor hari ini, ditandai dengan kembali meningkatnya imbal hasil (yield) di hampir semua tenor SBN acuan.

Yield SBN seri FR0087 berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan yield acuan obligasi negara berbalik naik 1 bp ke level 6,757%. Namun kenaikan yield tidak dialami oleh SBN bertenor 3 tahun berkode FR0039, di mana SBN tersebut masih dikoleksi oleh investor dan mengalami penurunan 0,6 basis poin (bp) ke 5,351%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga kenaikan yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Seiring dengan pelemahan obligasi akibat keluarnya investor asing (capital outflow) dari pasar surat utang, koreksi pun menimpa rupiah kemarin, selama 3 hari beruntun juga. Pelaku pasar masih menanti pengumuman hasil rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis (18/3/2021) dini hari waktu Indonesia.

Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.400/US$. Dalam perjalanannya Mata Uang Garuda melemah hingga 0,42% ke Rp 14.460/US$ dan akhirnya menutup perdagangan di Rp 14.425/US$, atau melemah 0,17%.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) menutup perdagangan Rabu (17/3/2021) dengan lonjakan fantastis. Pemicunya adalah konfirmasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) bakal mempertahankan kebijakan dovish untuk menjaga likuiditas pasar.

Indeks Dow Jones Industrial Average melesat 189,42 poin (+0,6%) ke 33.015,37 atau menjadi rekor tertinggi baru, dan pertama kali dalam sejarah indeks acuan berisi 30 saham unggulan AS ini meyentuh level psikologis 33.000.

Sementara itu, indeks S&P 500 lolos dari zona koreksi dengan ditutup menguat 11,4 poin (+0,29%) ke 3.974,12 dan Nasdaq ditutup menguat 53,63 poin (+0,4%) ke 13.525,2 setelah sempat ambruk hingga 1% di awal perdagangan.

Koreksi Nasdaq pada pagi (waktu setempat) terjadi setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun kembali naik ke 1,689%. Itu merupakan level tertinggi sejak Januari 2020. Kenaikan imbal hasil telah mengganggu kinerja saham teknologi.

Namun, situasi berbalik setelah pada siang harinya, bos The Fed Jerome Powell menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa suku bunga acuan (Fed Funds Rate) dipertahankan di evel nyaris nol persen.

Usai pengumuman tersebut, yield obligasi pemerintah AS pun langsung surut ke level 1,64%. Yield dan harga bergerak berlawanan arah, sehingga penurunan yield mengindikasikan bahwa harga sedang menguat alias diburu pemodal.

Bonus sentimen positif muncul dari mulut Powell setelah dia menyampaikan proyeksi ekonomi yang lebih positif dari sebelumnya, mengimplikasikan efek pemulihan ekonomi yang nyata, dan menargetkan angka pertumbuhan ekonomi 2021 sebesar 6,5%.

"Ia terdengar sebagai skenario yang sempurna bagi investor dan outlook ke depan, dan anda tengah melihat respons pasar terhadap pandangan yang sangat optimistis ini," tutur Michael Arone, Kepala Perencana Investasi State Street Global Advisors kepada CNBC International.

Kebijakan moneter, lanjut dia, kini terkonfirmasi akan masih tetap akomodatif tak peduli imbal hasil obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar, inflasi dan harga aset akan bergerak seperti apa.

Dari sisi inflasi, The Fed memperkirakan indeks harga konsumen (IHK) tersebut pada tahun ini diprediksi bisa menyentuh angka 2,2%, meski dalam jangka panjang The Fed memperkirakan rerata inflasi masih akan berada di level 2%.

Konfirmasi yang dinanti-nanti dalam 3 hari terakhir itu akhirnya muncul juga. Bank sentral Amerika Serikat (AS) menegaskan bahwa kebijakan moneter longgar-yang memungkinkan suku bunga rendah dan aksi gelontor likuiditas di pasar-bakal tersebut berlanjut.

Ini memberikan kelegaan tersendiri bagi pelaku pasar global, terutama di AS, karena memungkinkan mereka untuk terus mendapatkan limpahan dana di pasar, yang pada gilirannya bakal terciprat ke pasar negara berkembang (termasuk Indonesia).

Koreksi rupiah, obligasi, dan saham yang terjadi dalam 3 hari kemarin pun kemungkinan besar akan terhenti pada hari ini. Pasar akan kelebihan likuiditas, dan investor global akan "terposisikan" untuk betah menempatkan dananya di aset portofolio emerging market.

Maklum, dana tunai yang berlebih memang membutuhkan tempat untuk menampung dan mengembangkannya. Namun, ada harga yang harus dibayar dari uang beredar yang berlebihan di pasar, yakni inflasi.

Dalam pidatonya, The Fed mengakui bahwa inflasi tahun ini bisa menyentuh angka 2,2%, di atas rerata patokan yang biasa mereka pakai untuk mencegah mesin ekonomi terlalu panas (overheated).

Namun, secara bersamaan The Fed menegaskan akan tetap mempertahankan kebijakan moneter longgarnya tersebut demi pasar tenaga kerja dan ekonomi yang membaik.

"Kami memang berharap bahwa akan ada kemajuan lebih cepat di pasar tenaga kerja dan inflasi setelah sekian tahun, berkat kemajuan vaksin, dan karena dukungan fiskal yang kita dapatkan," tutur Ketua The Fed Jerome Powell sebagaimana dikutip CNBC International.

Artinya, inflasi boleh saja tinggi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun (yang jadi acuan pasar) boleh naik mendekati angka 2%, suku bunga nyaris nol persen akan dipertahankan.

Dus, dalam jangka menengah, pasar global masih akan aman dari risiko taper tantum (capital outflow masif dari pasar negara berkembang ketika The Fed mengurangi atau menghentikan pembelian obligasi di pasar).

Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan menggelar konferensi pers seteah Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17-18 Maret 2021. Hasilnya, suku bunga acuan bulan ini kemungkinan akan ditahan.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate akan dipertahankan di level 3,5%. Dua belas ekonom/analis dalam pembentukan konsensus memperkirakan tidak ada perubahan. Sepakat bulat, aklamasi, tidak ada dissenting opinion.

Dengan kondisi afirmatif akan outlook pemulihan dan kebijakan moneter longgar, maka tak ada alasan bagi pasar saham untuk kembali terkoreksi hari ini. Apalagi, harga komoditas juga naik seperti minyak sawit mentah (+1%), batu bara (+1,7%), timah (+2,2%), dan nikel (+0,5%).

Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Data penjualan mobil RI per Februari (tentatif)
  • Pidato Presiden European Central Bank/ECB (08:00 WIB)
  • Neraca perdagangan Uni Eropa per Januari (10:00 WIB)
  • Pengumuman BI 7-Days Reverse Repo Rate (11:00 WIB)
  • Pengumuman suku bunga acuan Inggris (11:00 WIB)
  • Klaim pengangguran baru (12:00 WIB)

Adapun sejumlah indikator perekonomian nasional meiputi:

Data dan Indikator Ekonomi Makro

Satuan

Nilai

Pertumbuhan Ekonomi 2020

% (yoy)

-2.07

Inflasi Februari 2021

% (yoy)

1.38

BI 7 Day Reverse Repo Rate Februari 2021

%

3.5

Surplus/Defisit Anggaran 2020

% (PDB)

-5.17

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan 2020

% (PDB)

-0.4

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia 2020

US$ Miliar

2.6

Cadangan Devisa Februari 2021

US$ Miliar

138.8

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular