Jelang Rilis Neraca Dagang, IHSG Tutup Sesi 1 di Zona Merah

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 March 2021 11:44
Pembukaan Bursa Efek Indonesia (CNBC indonesia/Tri Susilo)
Foto: Pembukaan Bursa Efek Indonesia (CNBC indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Dua kali mencicipi zona hijau,Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya melemah pada penutupan perdagangan sesi satu Senin (15/3/2021), mengikuti tren di bursa regional yang cenderung variatif.

IHSG dibuka terapresiasi 0,26% ke 6.374,76 dan berakhir di level 6.330,254 pada penutupan sesi pertama, atau melemah 0,44% (28 poin). Sempat tertekan usai pembukaan, IHSG menguat pukul 09:30 WIB, tetapi hanya bertahan sekitar setengah jam sebelum kembali masuk zona merah.

Menurut data RTI, sebanyak 226 saham menguat, 220 tertekan dan 184 lainnya flat. Transaksi bursa mulai naik dengan 11,9 miliar lebih saham diperdagangkan, sebanyak 802.000-an kali. Namun nilai transaksi bursa masih tipis, hanya Rp 6,5 triliun.

Investor asing hari ini melakukan aksi jual dengan nilai penjualan bersih (net sell) Rp 29,7 miliar di pasar reguler. Saham yang dilego terutama adalah PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dengan nilai jual Rp 187 miliar. Saham bank tersebut drop 1,3% (450 perak) ke Rp 33.375/saham.

Saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) lagi-lagi merajai dari sisi nilai transaksi, sebesar Rp 592,4 miliar. Saham BUMN ini drop nyaris 5% (120 poin) ke Rp 2.300/unit.

Pelaku pasar mengantisipasi neraca perdagangan Indonesia yang diprediksi bakal mengirim sinyal bahwa pelaku usaha di dalam negeri mulai membeli bahan baku dan barang modal karena meyakini ekonomi bakal segera pulih.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 ekonom/analis memperkirakan ekspor tumbuh 6,75% secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor lompat 11,85%. Meski demikian, neraca perdagangan diproyeksi tetap positif US$ 2,145 miliar.

Hasil polling Revinitif dari 12 ekonom/analis juga cenderung sama, dengan perkiraan lonjakan impor sebesar 12,6% sementara ekspor menguat 8,73%. Dus, Februari diprediksi masih menjadi bulan surplus perdagangan, dengan nilai US$ 2,2 miliar.

Kenaikan impor secara ironis justru membagikan sentimen positif bagi pelaku pasar saat ini karena menandakan bahwa aktivitas manufaktur kembali bergeliat, di mana pabrik-pabrik menambah impor barang modal ataupun bahan baku untuk mendukung produksi mereka.

Namun koreksi kembali terjadi di tengah sentimen negatif global yakni naiknya imbal hasil (yield) acuan US Treasury, setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menekan stimulus senilai US$ 1,9 triliun yang menaikkan ekspektasi inflasi.

Yield obligasi tenor 10 tahun tersebut naik 8 basis poin (bp) ke 1,642% yang artinya aksi jual menimpa pasar surat utang di AS. Level tersebut merupakan penutupan perdagangan tertinggi di tahun ini, dan sejak Februari 2020 lalu.

Jika imbal hasil meningkat, maka ekspektasi kupon obligasi di pasar primer pun meningkat yang bakal memicu kenaikan beban pembiayaan bagi emiten obligasi dan menekan kinerja keuangannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IHSG Melesat 1,7% di Sesi 1 Sambut Kedatangan Vaksin Sinovac

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular