Newsletter

Menunggu Sinyal Positif Pemulihan Ekonomi dari "Pasar Baru"

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 March 2021 06:25
Prikes Ekspor  (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Prikes Ekspor (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan lalu, pasar keuangan nasional bergerak variatif di tengah aksi jual investor asing. Mengawali pekan ini, ada harapan mereka balik dan mengambil posisi beli menyusul rilis data perdagangan nasional per Februari.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup pekan dengan reli sebesar 93,5 poin (1,49%) pada Jumat (13/3/2021) ke 6.358,209. Sepanjang pekan atau dalam lima hari terakhir perdagangan, indeks acuan bursa nasional itu terhitung menguat 1,07%.

Nilai transaksi sepanjang pekan tersebut tercatat sebesar Rp 65 triliun, melibatkan 124,4 miliar saham, yang ditransaksikan 6,9 juta kali. Namun, investor asing membukukan jual bersih Rp 1,59 triliun di pasar reguler.

Koreksi terjadi dua hari pertama pekan kemarin, setelah pemerintah memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro hingga 22 Maret. Keputusan itu disampaikan oleh Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional Airlangga Hartarto dalam keterangan pers, Senin (8/3/2021).

Namun, tiga hari selanjutnya, IHSG menguat mengiringi penandatanganan paket stimulus US$ 1,9 triliun oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang lebih cepat dari perkiraan. Pada Kamis, paket telah diteken setelah sebelumnya dikabarkan baru akan diteken pada akhir pekan.

Pengesahan stimulus yang memasukkan Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebesar US$ 1.400 (setara Rp 20 juta) ini diprediksi meningkatkan uang beredar dan konsumsi masyarakat, karena dibagikan rata untuk warga berpenghasilan di bawah US$ 75.000/tahun atau pasangan dengan penghasilan gabungan di bawah US$ 150.000/tahun.

Ada pula bantuan fiskal senilai US$ 350 miliar untuk membantu pemerintah lokal dan federal untuk penanganan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), termasuk di antaranya distribusi vaksin.

Namun, pemulihan ekonomi bagi pasar keuangan negara berkembang menjadi pedang bermata dua. Meski membantu memperbesar kans adanya percepatan pemulihan ekonomi global, stimulus juga mendongkrak inflasi di AS yang berpeluang mengerem kebijakan moneter ekstra longgar (quantitative easing/QE).

Maklum saja, selama ini pasar global menikmati berkah kenaikan likuiditas di pasar dari pembelian surat utang di pasar oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) senilai US$ 120 miliar. Jika kebijakan ini direm atau dihentikan, maka terbuka peluang dana investasi global yang berlebih dan diputar ke emerging market juga akan ditarik atau dikurangi.

Tidak heran, pasar obligasi dan rupiah kompak melemah sepanjang pekan kemarin. Imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-naik 9,8 basis poin (bp). Kenaikan yield menandakan harga obligasi sedang turun karena aksi jual.

Faktanya, Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa investor asing memang melakukan jual bersih senilai Rp 6,87 triliun di pasar SBN sepanjang 8-10 Maret 2021. Arus modal keluar di pasar saham dan obligasi itu membuat rupiah melemah terhadap dolar AS sepanjang pekan lalu, sebesar 0,63%.

Bursa saham Amerika Serikat (AS) ditutup beragam pada perdagangan terakhir pekan lalu. Dow Jones selama sepekan terhitung menguat 3,07%, sama seperti penguatan Nasdaq yang berkisar 3%, sementara indeks S&P 500 menguat 3,2%.

Sebelumnya di perdagangan awal, indeks Wall Street berayun ke jalur merah menyusul kekhawatiran seputar efek kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS terhadap kinerja emiten teknologi.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,9% di posisi 32.778 pada Jumat, sementara S&P 500 naik tipis 0,1% ke 3.943 sedangkan Nasdaq yang berisi saham-saham teknologi minus 0,59% di posisi 13.319.

Saham-saham pendorong S&P 500 di antaranya ViacomCBS yang melesat 10,34% dan Boeing Co yang lompat 6,21%. Saham Boeing juga menjadi pendorong Dow Jones, bersama dengan saham Caterpillar yang naik 4,21% dan Goldman Sachs 1,96%.

Namun, Nasdaq melemah seiring dengan kenaikan yield obligasi acuan di AS. Saham saham JD.Com anjlok 6,66% diikuti Facebook (-2%), Netflix (-0,96%), Tesla (-0,84%), Amazon (-0,77%), Apple (-0,76%), dan Microsoft (-0,58%).

"Yield yang lebih tinggi dan bank sentral yang kurang dovish kini dinilai sebagai ancaman terbesar bagi pasar saham," tutur Ralf Preusser, perencana investasi surat utang Bank of America, sebagaimana dikutip CNBC International, Sabtu (13/3/2021).

Investor di AS saat ini juga tengah merotasi portofolionya dari saham berbasis teknologi-yang menguat karena mendapatkan berkah kenaikan pengguna selama pandemi-menuju saham siklikal (yang menguat ketika pandemi mereda dan kondisi ekonomi membaik).

Akibatnya, dalam 4 pekan terakhir secara beruntun kinerja Nasdaq tertinggal jika dibandingkan dengan Dow Jones. Ini merupakan fenomena yang langka di bursa AS. Terakhir, kondisi demikian terjadi pada April-Mei 2016 dan pada 2011.

Jack Ablin, pengelola investasi di Cresset, menilai kondisi saat ini agak berbeda di mana saham teknologi cenderung tidak menunjukkan tajinya, sehingga indeks Nasdaq kalah performanya terhadap Dow Jones. Dia pun memutuskan melepas saham teknologi dan mengejar saham manufaktur, finansial, dan energi.

Menurut laporan Ned Davis Research, Nasdaq berisiko anjlok 20% lagi jika yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun (yang menjadi acuan pasar surat utang Negara Adidaya tersebut) naik hingga menyentuh level psikologis 2%.

Kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS bakal menekan kinerja mereka karena sifat bisnis mereka yang memang padat modal dan gemar menerbitkan surat utang. Imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun itu pada Jumat kembali naik ke 1,642%.

Hari ini sinyal geliat industri manufaktur nasional berpeluang muncul, dari rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) soal neraca perdagangan. Namun, rupiah berpeluang tertolong karena surplus perdagangan diprediksi masih tercetak, sehingga menambah devisa hasil ekspor nasional.

Lembaga yang berkantor di Jalan Sutomo, Pasar Baru, tersebut akan mengumumkan kinerja ekspor Indonesia per Februari 2021 siang nanti. Secara historis, sebelum pandemi, Indonesia merupakan negara yang berlangganan mencetak defisit neraca perdagangan sejak booming ekspor komoditas terhenti.

Tanpa lonjakan nilai ekspor dari komoditas, angka impor pun tak memiliki penyeimbang dan defisit tak terbendung. Pasalnya, struktur manufaktur nasional masih bergantung pada barang modal dan bahan baku impor, dengan kontribusi mencapai 90% dari total impor nasional.

Oleh karena itu, kenaikan impor secara ironis justru membagikan sentimen positif bagi pelaku pasar karena menandakan bahwa aktivitas manufaktur kembali bergeliat, di mana pabrik-pabrik menambah impor stok barang modal ataupun bahan baku untuk mendukung produksi mereka.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 ekonom/analis memperkirakan ekspor tumbuh 6,75% secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor lompat 11,85%. Meski demikian, neraca perdagangan diproyeksi tetap positif US$ 2,145 miliar.

Hasil polling Revinitif dari 12 ekonom/analis juga cenderung sama, dengan perkiraan lonjakan impor sebesar 12,6% sementara ekspor menguat 8,73%. Dus, Februari diprediksi masih menjadi bulan surplus perdagangan, dengan nilai US$ 2,2 miliar.

Hal ini bakal memicu optimisme pelaku pasar, baik domestik maupun asing, untuk kembali mengambil posisi beli di aset saham. Bayang-bayang kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS, yang selama ini secara psikologis ikut menekan IHSG memang masih ada. Namun, pasar akan mengambil jeda sebagaimana terlihat dari reli kontrak berjangka bursa AS pagi ini (WIB).

Dari luar negeri, pelaku pasar juga bakal memantau angka kenaikan kasus Covid-19 di Eropa yang cenderung menguat kembali. Jerman melaporkan munculnya gelombang ketiga penyebaran virus corona tersebut.

Italia, Polandia dan Hungaria juga melaporkan lonjakan kasus Covid-19 sementara Ceko dan Slovakia mencetak angka kematian tertinggi di dunia. Untuk mengatasi situasi tersebut, Perdana Menteri Italia Mario Draghi mengumumkan pembatasan kegiatan masyarakat di akhir pekan.

Beberapa negara Eropa saat ini menghadapi kendala vaksinasi setelah menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca, di antaranya Irlandia, Denmark, Norwegia, dan Islandia. Total sudah ada sembila negara di dunia yang menghentikan penggunan vaksin besutan perusahaan AS tersebut.

Di AS, vaksinasi terus menunjukkan lajunya dengan 27% warga dewasa mereka telah mendapat suntikan dosis pertama, yang melibatkan 107 juta tabung vaksin. Angka infeksi pun anjlok secara mingguan, hingga 11% pada Sabtu kemarin ke kisaran 50.000/hari.

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pekan lalu menyatakan akan memantau dan meneliti persoalan vaksin tersebut, dan berjanji akan mengumumkan jika ada perubahan rekomendasi kepada publik segera.

Berikut adalah sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  • Produksi industri China Januari-Februari (02:00 WIB)
  • Penjualan ritel China Januari-Februari (02:00 WIB)
  • Angka pengangguran China Januari-Februari (02:00 WIB)
  • RUPSLB PT Star Pacific Tbk/LPLI (09:30 WIB)
  • RUPSLB PT Megapolitan Developments Tbk/EMDE (10:00 WIB)
  • Neraca perdagangan RI Februari (11:00 WIB)
  • Neraca perdagangan Korsel Februari (11:00 WIB)
  • RUPST PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (14:00 WIB)
  • RUPSLB PT Gajah Tunggal Tbk/GJTL (14:00 WIB)
  • RUPSLB PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk/CENT (14:00 WIB)

Adapun sejumlah indikator perekonomian nasional meiputi:

Data dan Indikator Ekonomi Makro

Satuan

Nilai

Pertumbuhan Ekonomi 2020

% (yoy)

-2.07

Inflasi Januari 2021

% (yoy)

1.38

BI 7 Day Reverse Repo Rate Februari 2021

%

3.5

Surplus/Defisit Anggaran 2020

% (PDB)

-5.17

Surplus/Defisit Transaksi Berjalan 2020

% (PDB)

-0.4

Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia 2020

US$ Miliar

2.6

Cadangan Devisa Februari 2021

US$ Miliar

138.8

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular