
Masuk Geng Big Cap Gak Jaminan! Contohnya Nasib Saham Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja saham emiten petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) tercatat negatif selama sebulan terakhir. Jebloknya saham emiten milik penguasa nasional Prajogo Pangestu ini diikuti oleh aksi lego para investor asing.
Saham yang masuk ke dalam jajaran big cap alias saham dengan kapitalisasi pasar (market cap) besar di atas Rp 100 triliun ini sudah ambles 12,42% selama sebulan berdasarkan harga penutupan Rabu (10/3/2021). Namun, secara year to date (YTD), saham TPIA telah naik 10,64%.
Asing tercatat ramai-ramai menjual emiten anak usaha Barito Pasific (BRPT) ini Rp 16,63 miliar selama sebulan terakhir. Secara YTD, asing juga keluar dari TPIA dengan catatan jual bersih Rp 9,94 miliar.
Adapun jika dihitung berdasarkan harga penutupan Jumat pekan lalu (12/3), saham BRPT minus 1,63% sebulan terakhir dan year to date hanya naik 16,53%.
Sebulan terakhir asing juga keluar atau menjual saham TPIA ini Rp 19 miliar di semua pasar dan YTD asing kabur Rp 40,71 miliar di semua pasar. Data BEI menunjukkan market cap TPIA mencapai Rp 188,59 triliun per Jumat lalu.
Sebenarnya, emiten produsen domestik tunggal ethylene ini mencatatkan kinerja yang moncer sepanjang tahun lalu.
TPIA membukukan laba bersih sebesar US$ 51,35 juta atau setara dengan Rp 729,56 miliar (Kurs US$ 1 = Rp 14.207) pada 2020. Angka tersebut melesat 124,42% dari perolehan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 22,88 juta atau Rp 325,08 miliar.
Namun, peningkatan laba bersih tersebut dibarengi dengan penurunan pendapatan bersih TPIA pada periode yang sama. TPIA mencatatkan pendapatan bersih US$ 1,80 miliar atau Rp 25,66 triliun pada 2020. Torehan ini merosot 3,96% dari US$ 1,88 miliar atau Rp 26,72 triliun pada tahun sebelumnya.
Penurunan pendapatan bersih tersebut terutama disebabkan harga jual rata-rata produk yang lebih rendah menjadi US$ 813 per ton pada 2020 dari US$ 968 pada 2019.
Hal ini mengingat harga ethylene dan polyethylene turun drastis masing-masing sebesar 16,37% US$ 720/ton dan 13,84% US$ 902/ton pada tahun sebelumnya.
Sebagai informasi, ethylene atau etilena biasanya digunakan untuk bahan baku polyethylene (polietilena). Polietilena sendiri digunakan sebagai bahan baku plastik.
Produk turunan etilena dan polietilena ini bisa menghasilkan beragam produk akhir, seperti kantong plastik, wadah makanan, botol, kemasan makanan, hingga pipa air.
Bila dirinci, pendapatan bersih pada tahun lalu tersebut disumbang oleh penjualan lokal sebesar US$ 1,3 miliar atau Rp 18,48 triliun. Kedua, penjualan luar negeri US$ 496,31 juta atau Rp 7,05 triliun.
Selain itu, kontribusi lainnya dari sewa tangki dan dramaga senilai US$ 9,4 juta atau Rp 133,63 miliar.
Beban pokok pendapatan juga tercatat merosot US$ 1,64 miliar atau Rp 23,31 triliun pada tahun 2020, turun 4,00% dari US$ 1,7 miliar atau Rp 24,29 triliun pada tahun 2019.
Penurunan beban pokok pendapatan ini sebagian besar disebabkan oleh harga naphtha rata-rata yang lebih rendah 23,61% menjadi US$ 414 per metrik ton pada tahun lalu.
Sebelumnya, pada 2019 harga naphtha rata-rata sebesar US$ 542 per metrik ton.
Selain itu, harga minyak mentah Brent juga turun menjadi rata-rata US$ 42 per barrel pada tahun lalu. Angka ini tercatat lebih rendah 35% secara year-on-year (YoY) dibandingkan US$ 64 per barrel pada tahun 2019.
Sebagai informasi, baik minyak mentah (crude oil) dan produk turunannya naphtha merupakan salah satu bahan baku utama dalam industri petrokimia.
Dari bahan baku tersebut, plus sejumlah bahan baku turunan lainnya, akan menghasilkan produk-produk tertentu, seperti produk plastik untuk kemasan, otomotif, pipa air, dan elektronik.
Prediksi Broker soal Sektor Petrokimia Tanah Air
Dalam risetnya pada 2 Februari 2021, Bahana Sekuritas meyakini, spread produk petrokimia, seperti olefin, akan bertahan dengan baik sepanjang tahun ini.
Sekadar informasi, produk turunan utama olefin adalah adalah ethylene, yang menjadi produk andalan TPIA.
Prediksi di atas didukung oleh tiga faktor. Pertama, hal tersebut ditopang oleh permintaan yang meningkat seiring dengan pemulihan ekonomi global. Pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 diharapkan bisa meningkatkan penjualan barang-barang konsumen.
Menurut Bahana, dengan peningkatan permintaan barang konsumen tersebut, konsumsi bahan kimia diharapkan ikut mendongkrak.
Selain itu, faktor lainnya, berkaitan dengan pembatasan sosial serta mobilitas orang sebagai akibat dari tingginya jumlah kasus Covid-19 di negara-negara besar.
Pembatasan sosial akibat pandemi ini masih akan menunda ekspansi proyek petrokimia serta mengakibatkan kendala dalam pengiriman produk.
Ketiga, Bahana juga memperkirakan bahwa harga naphtha akan tetap stabil di kisaran US$ 356/metrik ton. Ini terjadi seiring margin kilang yang relatif rendah dan harga minyak mentah yang rendah.
Sementara, harga polietilena diperkirakan berada di angka US$ 1.001/metrik ton pada tahun ini.
Adapun Bahana memprediksi, terjadi kenaikan pendapatan TPIA menjadi US$ 2,02 miliar dan laba bersih US$ 102 juta pada tahun ini.
Bahana Sekuritas menyarankan hold untuk TPIA dengan target harga Rp 9.200 pada tahun ini.
Secara umum, risiko yang mungkin mempengaruhi rekomendasi di atas, yakni kemungkinan ekspansi supply yang lebih cepat dari perkiraan dan pemulihan permintaan (demand) yang lebih lambat.
Selain itu, kenaikan harga minyak yang signifikan pada tahun ini juga bisa menjadi faktor penentu lainnya.
Di sisi lain, CNBC Indonesia mencatat ada satu sentimen bagi TPIA yakni penggabungan usaha atau merger dengan entitas anak, PT Styrindo Mono Indonesia (SMI) yang efektif pada 1 Januari lalu.
"Penggabungan akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha CAP dan oleh karenanya akan menguntungkan seluruh pemangku kepentingan," tulis manajemen Chandra Asri, dalam prospektusnya.
Per November 2020, komposisi terbesar pemegang saham TPIA masih digenggam oleh Barito Pacific 41,88% dan SCG Chemicals Company Limited sebesar 30,57%. Selanjutnya, Prajogo Pangestu dan Marigold Resources Pte masing-masing sebesar 15,07% dan 4,75%. Sedangkan, pemegang saham publik sebesar 7,73%.
SMI merupakan perusahaan anak TPIA yang fokus pada industri pengolahan dan perdagangan besar. SMI adalah satu-satunya manufaktur styrene monomer di Indonesia hingga saat ini dengan kapasitas produksi 340 KTA (kilo ton per tahun). Berlokasi di Bojonegara, Serang, Banten, yang berjarak 40 km dari fasilitas pabrik CAP.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mengintip Kinerja Emiten Milik Prajogo Pangestu di 2020
