Kapitalisasi Pasar Rp 100 T

Cek ya! 4 Saham Big Cap Ini Paling Anjlok di Bursa, Kok Bisa?

Aldo Fernando, CNBC Indonesia
10 March 2021 06:49
Astra (Dok. Astra)
Foto: Astra (Dok. Astra)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah saham big cap atau saham dengan kapitalisasi pasar besar di atas Rp 100 triliun menunjukkan kinerja negatif, baik selama sebulan terakhir maupun sejak awal tahun ini.

Anjloknya harga saham-saham big cap ini diiringi oleh kinerja keuangan perusahaan yang kurang menggembirakan pada tahun lalu serta keluarnya investor asing dari saham-saham tersebut.

Berikut ini 10 besar saham big cap per 5 Maret 2021 beserta pergerakan harga selama 1 bulan dan year to date (YTD).

Berdasarkan tabel di atas setidaknya ada empat saham yang tercatat paling ambles, baik selama sebulan maupun secara YTD. Keempat saham tersebut, yakni UNVR, ASII, TPIA dan HMSP.

NEXT: Cek Ulasannya Gaes

UNVR

Saham emiten peritel raksasa UNVR tercatat anjlok 7,96% selama sebulan terakhir. Sementara, kinerja YTD pun ikut negatif, yakni sebesar 15,82%.

Padahal, selama sebulan investor asing sudah masuk ke UNVR senilai Rp 1,29 miliar. Tapi, secara YTD asing sudah melego saham emiten produsen berbagai produk makanan dan perawatan pribadi ini sebesar Rp 35,53 miliar.

Sebelumnya, UNVR melaporkan laba bersih 2020 tercatat turun 3,11% menjadi Rp 7,16 triliun, dari tahun sebelumnya Rp 7,39 triliun. Penurunan laba bersih ini seiring dengan kenaikan tipis pendapatan saat pandemi Covid-19.

Total penjualan bersih UNVR di 2020 mencapai Rp 42,97 triliun, naik 0,12% dari 2019 yakni Rp 42,92 triliun.

Bila ditelisik, penjualan dari dalam negeri mencapai Rp 41,16 triliun, naik dari 2019 Rp 40,87 triliun, sementara penjualan ekspor turun menjadi Rp 1,81 triliun dari sebelumnya Rp 2,05 triliun.

Kontribusi penjualan terbesar yakni kepada pihak berelasi Unilever Asia Private Limited senilai Rp 552,63 miliar, kendati ambruk dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp 1,37 triliun.

Berikutnya penjualan kepada Unilever (Malaysia) Holdings Sdn Bhd sebesar Rp 320,06 miliar dari sebelumnya nihil, dan kepada Unilever Philippines Inc Rp 245,82 miliar dari sebelumnya Rp 240,22 miliar.

Sebelumnya manajemen UVR menyatakan pada kuartal kedua, penjualan bersih memang turun, imbas dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sebab itu, mencermati kondisi penuh tantangan dan perubahan, perseroan fokus kepada tiga hal yaitu melindungi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan karyawan.

ASII

Mirip dengan UNVR, kinerja saham induk usaha konglomerasi Grup Astra yakni ASII pun memerah, baik selama sebulan maupun sejak awal tahun.

Saham sang 'raja otomotif' ambruk 9,02% selama sebulan. Setali tiga uang, secara YTD saham ASII sudah terjun 15,82%.

Jebloknya saham ASII diikuti oleh aksi jual bersih asing sebesar Rp 2,62 triliun selama sebulan, kemudian sebesar Rp 1,46 triliun secara YTD.

Selain itu, pada akhir bulan lalu, ASII melaporkan kinerja keuangan yang kurang menggembirakan pada 2020. Laba bersihnya drop 26% menjadi Rp 16,16 triliun pada 2020, dibandingkan 2019 yang tercatat Rp 21,71 triliun.

Penurunan laba bersih Astra disebabkan karena penurunan pendapatan bersih sebesar 26% menjadi Rp 175,05 triliun dari Rp 237,17 triliun pada periode waktu yang sama.

"Pendapatan dan laba bersih grup Astra (Grup) pada tahun 2020 menurun akibat dampak dari pandemi Covid-19 dan upaya penanggulangannya. Grup terus beroperasi di tengah kondisi yang menantang, dan masih terdapat ketidakpastian mengenai kapan pandemi akan berakhir," kata Presiden Direktur Astra Djony Bunarto Tjondro, melalui siaran persnya.

Mantan Dirut Astra Credit Companies (ACC) ini menambahkan kondisi ini akan berlangsung selama beberapa waktu dan masih terlalu dini untuk memprediksi dampak pandemi terhadap kinerja Grup pada tahun 2021.

Penurunan kinerja Astra, disebabkan karena penjualan mobil ambles 50% dengan pangsa pasar juga sedikit turun. Sementara penjualan sepeda motor turun 41%, tapi pangsa pasar yang meningkat.

Selain itu, di industri jasa keuangan anak usaha Astra harus melakukan peningkatan provisi kerugian kredit, dan di anak usaha pertambangan, penurunan harga batu bara mempengaruhi penjualan alat berat dan volume kontraktor penambangan juga mempengaruhi pendapatan perseroan.

Di sektor agribisnis, anak usaha perseroan diuntungkan oleh harga minyak kelapa sawit yang lebih tinggi, di mana posisi neraca keuangan dan pendanaan yang kuat.

NEXT: Chandra Asri & HMSP

TPIA

Saham TPIA juga mencatatkan kinerja negatif selama sebulan, dengan drop 12,59%. Tapi, secara YTD saham emiten petrokimia ini berhasil naik 8,52%.

Adapun selama sebulan asing ramai-ramai melego saham TPIA sebesar Rp 9,21 miliar, diikuti net sell secara YTD sebesar Rp 16,02 miliar.

Meskipun kinerja saham selama sebulan terakhir terpuruk, TPIA mencetak kinerja positif sepanjang 2020. Emiten milik taipan Prajogo Pangestu ini membukukan laba bersih sebesar US$ 51,35 juta atau setara dengan Rp 729,56 miliar (kurs US$ 1 = Rp 14.207) sepanjang tahun lalu.

Angka tersebut melesat 124,42% dari perolehan tahun sebelumnya yang sebesar US$ 22.882.000 atau Rp 325,08 miliar.

Namun sayang, peningkatan laba bersih tersebut dibarengi dengan penurunan pendapatan bersih TPIA pada periode yang sama. TPIA mencatatkan pendapatan bersih US$ 1,80 miliar atau Rp 25,66 triliun pada 2020, merosot 3,96% dari US$ 1,88 miliar atau Rp 26,72 triliun pada tahun sebelumnya.

Pendapatan bersih itu disumbang oleh penjualan lokal sebesar US$ 1,3 miliar atau Rp 18,48 triliun, kemudian penjualan luar negeri US$ 496,31 juta atau Rp 7,05 triliun. Selain itu, kontribusi lainnya dari sewa tangki dan dramaga senilai US$ 9,4 juta atau Rp 133,63 miliar.

TPIA merupakan perusahaan kimia milik konglomerat Prajogo Pangestu, melalui PT Barito Pacific Tbk (BRPT), yang menguasai 41,88% saham perseroan. Prajogo pangestu juga secara langsung tercatat menguasai 15,06% saham produsen bahan kimia terbesar ini.

HMSP

Saham emiten produsen rokok HMSP menunjukkan kinerja positif selama sebulan dengan naik 2,14%. Akan tetapi, sejak awal tahun ini,saham emiten anak usaha Philip Morris International Inc ini terbenam 29,31%.

Penguatan saham selama sebulan diikuti aksi beli bersih asing Rp 25,05 miliar. Sementara, anjloknya saham HMSP secara YTD diikuti jual bersih oleh investor asing sebesar Rp 13,27 miliar.

Apabila merujuk pada laporan keuangan terakhir HMSP pada kuartal III 2020, emiten yang melantai di bursa pada Agustus 1990 ini mencatatkan laba bersih mencapai Rp 6,91 triliun, turun 32,25% dari periode yang sama tahun lalu Rp 10,20 triliun.

Koreksi laba tersebut terjadi seiring dengan pendapatan yang juga menurun di periode Januari hingga September itu. Pendapatan produsen rokok Dji Sam Soe dan Sampoerna Mild ini turun 12,55% menjadi Rp 67,78 triliun dari periode yang sama tahun lalu Rp 77,51 triliun.

Terbaru, sang induk, Philip Morris International (PMI) Inc., melaporkan penurunan pendapatan sepanjang 2020 di tengah pandemi Covid-19. Volume penjualan rokok HMSP pun ikut terpengaruh pada tahun lalu.

Mengacu siaran persnya, PMI mencatatkan pendapatan bersih turun sebesar 3,7% menjadi US$ 28,69 miliar atau setara dengan Rp 402 triliun (kurs Rp 14.000/US$) pada 2020 dari 2019 yakni US$ 29,81 miliar.

Adapun laba operasi turun 0,5% menjadi US$ 11,69 miliar atau setara Rp 164 triliun dari tahun sebelumnya US$ 11,76 miliar.

Menurut laporan Philip Morris, pada 2020 total pasar rokok di Indonesia (mengacu IMS Data) turun 9,6% menjadi 276,3 miliar batang dari 305,7 miliar batang pada tahun sebelumnya.

Penurunan pasar rokok global ini lebih baik ketimbang di Filipina yang ambles 12% dari 70,5 miliar batang menjadi hanya 62,1 miliar batang, atau Meksiko yang turun 13,5% dari 35,5 miliar batang jadi 30,7 miliar batang.

Pasar rokok di Indonesia secara global menjadi penyumbang terbesar, disusul Rusia (219,1 miliar batang), Jepang (142,9 miliar batang), dan Turki (114,8 miliar batang). Total jumlah pasar rokok tahun lalu secara global mencapai 2.548 miliar batang, turun 5,8% dari 2705 miliar batang di 2019.

Penurunan volume penjualan ini "terutama mencerminkan dampak dari kenaikan harga yang didorong oleh pajak cukai dan juga tindakan terkait pandemi terhadap konsumsi harian rata-rata perokok dewasa," tulis rilis resmi PMI, dikutip CNBC Indonesia, Rabu (17/2/2021).

Adapun volume penjualan rokok PMI di Indonesia juga anjlok sebesar 19,3% menjadi 79,5 miliar batang rokok dari 98,5 miliar batang rokok pada 2019.

Turunnya volume penjualan ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti "perokok dewasa beralih ke segmen 'di bawah tier satu' yang diuntungkan oleh kebijakan pajak.

Selain itu ada dampak dari peningkatan kesenjangan harga di segmen tier satu (sebagian karena penundaan dalam pemberlakuan harga minimum), dan dampak yang tidak proporsional dari pembatasan mobilitas orang yang lebih ketat di daerah perkotaan, di mana pangsa PMI lebih tinggi," tulis rilis PMI.

Dengan demikian, pangsa pasar (market share) HMSP turun 3,4% menjadi 28,8% dari sebelumnya 32,2%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular