Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akhirnya ditutup anjlok hingga 1,35% turun ke 6.290,79 pada perdagangan Kamis kemarin (4/3/2021) di tengah tekanan bursa Wall Street AS dan kejatuhan bursa Asia.
Data BEI mencatat, IHSG bahkan sempat jatuh ke level terendah harian 6.270. Ada 154 saham naik, 314 saham ambruk, dan sisanya 163 saham stagnan. Nilai transaksi yang tercatat mencapai Rp 14,04 triliun dengan volume perdagangan 27,54 miliar saham dan 1,60 juta kali transaksi.
Investor asing mencatatkan aksi jual bersih senilai Rp 353 miliar. Asing tercatat memborong saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sebesar Rp 71 miliar dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) sebanyak Rp 36 miliar.
Sedangkan jual bersih dilakukan asing di saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang dilego Rp 216 miliar dan PT Astra Internasional Tbk (ASII) dengan jual bersih Rp 63 miliar.
Dalam sepekan terakhir asing masih masuk Rp 106 miliar, sebulan asing beli bersih Rp 518 miliar dan year to date asing juga net buy Rp 8 triliun sejak Januari lalu.
Berikut saham-saham yang dilepas asing di pasar reguler, sebagian di antaranya merupakan emiten dengan kapitalisasi pasar di atas Rp 100 triliun alias big cap yang cukup mempengaruhi ke IHSG.
10 Top Net Foreign Sell Kamis (4/3) di Pasar Reguler
1. Bank Central Asia (BBCA), net sell Rp 216 M, saham -4% Rp 33.600
2. Astra International (ASII), Rp 63 M, saham -1,76% Rp 5.575
3. Vale Indonesia (INCO), Rp 52 M, saham -6,75% Rp 5.525
4. Indofood CBP (ICBP), Rp 37 M, saham -1,43% Rp 8.600
5. Gudang Garam (GGRM), Rp 32 M, saham -0,27% Rp 36.900
6. Sarana Menara (TOWR), Rp 25 M, saham -4,35% Rp 1.210
7. Telkom (TLKM), Rp 23 M, saham -2,33% Rp 3.360
8. Ciputra Development (CTRA), Rp 19 M, saham -0,85% Rp 1.160
9. Unilever (UNVR), Rp 16 M, saham -2,18% Rp 6.725
10. Wijaya Karya (WIKA), Rp 13 M, saham -2,24% Rp 1.745
NEXT: Analisis koreksi saham dan net sell
Koreksi yang tajam IHSG sebetulnya tak luput dari kinerja bursa Wall Street AS yang buruk pada Kamis pagi waktu Indonesia atau Rabu waktu AS.
Melansir data Refinitiv, indeks Dow Jones melemah 0,39% ke 31.270,09, S&P 500 merosot 1,3% ke 3,819,72, dan Nasdaq jeblok 2,7% ke 12.997,75. Anjloknya bursa Wall Street, baik New York Stock Exchange (NYSE) maupun Bursa Nasdaq, terjadi akibat naiknya imbal hasil atau yield Treasury (obligasi AS).
Yield Treasury menjadi hantu yang menggentayangi pasar finansial global sejak pekan lalu. Yield Treasury AS tenor 10 tahun pada Rabu lalu naik 5,54 basis poin ke 1,4704%, sebelumnya bahkan sempat menyentuh level 1,498%.
Adapun mayoritas indeks saham di Bursa Asia juga berada di zona merah pada perdagangan Kamis kemarin, kecuali indeks Straits Times yang mengalami apresiasi sebesar 0,32%.
Sedangkan sisanya tak mampu berbalik arah ke zona hijau. Hang Seng Hong Kong menjadi indeks saham Asia yang pelemahannya paling parah hingga 2,15% ke 29.236,79, disusul Nikkei minus 2,13%, dan Shanghai ambruk 2,05%.
Saham big cap alias saham dengan kapitalisasi pasar (market capitalization) terbesar di atas Rp 100 triliun yang terkoreksi sahamnya yakni BBCA, ASII, ICBP, dan Unilever Indonesia.
Kapitalisasi BBCA mencapai Rp 828 triliun dengan penurunan harga saham 4%. Nilai transaksi saham BBCA mencapai Rp 826 miliar dengan volume perdagangan 24,16 juta saham. Dalam sebulan terakhir saham bank milik Grup Djarum ini minus 1,54%.
ASII punya kapitalisasi pasar Rp 226 triliun dengan koreksi harga saham 1,76%. Dalam sebulan terakhir saham ASII minus 9,35%.
Untuk bulan ini, PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia memperkirakan pergerakan IHSG akan cenderung menguat terbatas di level 6.241 sampai dengan 6.428.
Investment Information Mirae Asset, Martha Christina menjelaskan, selama Maret terdapat beberapa katalis yang diproyeksikan akan menggerakkan laju bursa saham domestik dapat menguat terbatas, antara lain rilis kinerja keuangan emiten sepanjang tahun 2020 yang diperkirakan masih akan mengalami penurunan laba bersih karena imbas pandemi Covid-19.
Semetara itu, awal Maret ini beberapa negara sudah merilis data PMI Manufaktur seperti China dan Amerika Serikat yang masih menunjukkan penurunan.
Sedangkan, rilis data ekonomi Indonesia yang memperlihatkan minimnya perbaikan seperti PMI dan inflasi turut disikapi dengan respons kebijakan yang akomodatif dari pemerintah di beberapa industri.
Beberapa kebijakan akomodatif tersebut antara lain pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia 7DRRR menjadi 3,5%, PPnBM 0% untuk mobil 1.500 cc, uang muka (DP) rumah 0%, dan pembebasan PPN rumah di bawah Rp 2 miliar guna mendorong pertumbuhan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang ditargetkan di 4.3%-5.3%.
"Penggerak pasar dari data ekonomi cukup banyak tapi hasilnya masih kurang meyakinkan, investor masih berhati-hati," kata Martha, dalam konferensi pers secara daring, Kamis (4/3/2021).