Pasar Saham RI & Global Menghijau, Terima Kasih dong ke ECB

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 March 2021 13:12
Managing Director IMF Christine Lagarde
Foto: Managing Director IMF Christine Lagarde (REUTERS/Philippe Wojazer)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham global menghijau pada perdagangan Kamis kemarin (11/3), dan menular ke Asia hari ini, Jumat (12/3/2021).

Salah satu penyebab adalah bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang mengatakan akan mempercepat laju pembelian aset seperti obligasi (quantitative easing/QE). Artinya, ECB akan lebih agresif dalam mengucurkan duit ke perekonomian.

Hal tersebut dilakukan sebagai respons naiknya yield (imbal hasil) obligasi, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di Eropa.

Berkat pernyataan tersebut, bursa saham Eropa, dan Amerika Serikat menguat pada perdagangan Kamis kemarin, dan menular hari ini ke Asia. Pada perdagangan sesi I, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melesat 1,22% di posisi 6.341.

Dalam pengumuman hasil rapat kebijakan moneter Kamis kemarin, ECB menyatakan akan meningkatkan QE di kuartal II-2021 nanti. Untuk diketahui, dalam menghadapi kemerosotan ekonomi akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19), ECB menggelontorkan stimulus moneter dengan QE yang disebut Pandemic Emergency Purchasing Program (PEPP), yang nilainya mencapai 1,85 triliun euro, yang ditargetkan akan habis pada Maret 2022.

Pada kuartal I-2021 ini, nilai QE yang digelontorkan ECB dikatakan lebih rendah dari sebelumnya, sehingga akan ditingkatkan lagi di kuartal selanjutnya.

"Berdasarkan penilaian bersama mengenai kondisi finansial dan outlook inflasi, Dewan Gubernur mengharapkan pembelian aset melalui PEPP di kuartal selanjutnya akan lebih tinggi ketimbang bulan pertama tahun ini," tulis ECB dalam rilisnya usai rapat kebijakan moneter, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (11/3/2021).

Dengan nilai pembelian obligasi yang ditingkatkan, yield-nya tentunya akan menurun. Kenaikan yield yang dimulai di AS (Treasury) membuat bursa saham tertekan belakangan ini, Sebabnya, kenaikan yield dinilai sebagai respon pelaku pasar dari ekspektasi peningkatan inflasi.

Ternyata tidak hanya di AS, di Eropa juga mengalami kenaikan yield. Yield obligasi Jerman tenor 10 tahun misalnya, pada 26 Februari lalu mencapai level tertinggi 1 tahun di -0,203%.

Untuk diketahui, yield obligasi di Eropa memang sudah negatif dalam waktu yang cukup lama, sebab ECB menerapkan suku bunga acuan 0%.

Sejak awal bulan ini, yield obligasi Jerman akhirnya terus mulai menurun, sebab ECB sudah diperkirakan akan bertindak guna meredam kenaikan yield obligasi.

Sejak Rabu lalu, yield obligasi Jerman juga terus menurun, dan hari ini berada di level -0,331%.

Kenaikan yield dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan ekonomi, sebab biaya pinjaman berisiko meningkat. Oleh karenanya, ECB berkomitmen untuk meningkatkan laju pembelian aset, yield obligasi di Eropa akhirnya menurun. Aset-aset berisiko pun kembali menanjak.

"Dewan Gubernur akan fleksibel dalam melakukan pembelian aset, tergantung dari kondisi pasar dan untuk mencegah pengetatan likuiditas yang tidak konsisten dalam menanggulangi dampak dari pandemi, terutama terkait dengan proyeksi inflasi" kata ECB.

Meski sedang menghadapi kenaikan yield yang berisiko mengganggu pemulihan ekonomi, tetapi ECB memberikan proyeksi yang lebih optimistis.

Bank sentral di bawah pimpinan Christine Lagarde ini memprediksi di tahun ini produk domestik bruto (PDB) zona euro akan tumbuh 4%, lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bulan Desember lalu sebesar 3,9%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> The Fed Juga Diprediksi Lancarkan Operation Twist

Setelah ECB, pekan depan giliran bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mengambil langkah guna meredam kenaikan yield Treasury.

Ketua The Fed, Jerome Powell, pada rapat kebijakan moneter 16 - 17 Maret waktu setempat diperkirakan akan mengaktifkan kembali Operation Twist yang pernah dilakukan 10 tahun yang lalu, saat terjadi krisis utang di Eropa.

Operation Twist dilakukan dengan menjual obligasi AS tenor pendek dan membeli tenor panjang, sehingga yield obligasi tenor pendek akan naik dan tenor panjang menurun. Hal tersebut dapat membuat kurva yield melandai.

The Fed sudah 2 kali menjalankan Operation Twist, pada 2011 dan 1961. CNBC International melaporkan pelaku pasar yang mengetahui perihal operasi tersebut mengatakan jika The Fed sudah menghubungi dealer-dealer utama untuk menjalankan operasi tersebut.

Mark Cabana, ahli strategi suku bunga di Bank of America Global Research, mengatakan Operation Twist merupakan kebijakan yang sempurna untuk meredam gejolak di pasar obligasi.

"Operation Twist, dengan menjual obligasi tenor rendah dan membeli tenor panjang secara simultan adalah kebijakan yang sempurna menurut pandangan kami," kata Cabana, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (1/3/2021).

Cabana menyebut Operation Twist "membunuh tiga burung dengan satu batu". Yang pertama menaikkan yield jangka pendek, kemudian stabilitas yield jangka panjang, serta tidak akan menaikkan balance sheet.

Selain Operation Twist, The Fed juga diperkirakan akan menaikkan Interest Rate on Excess Reserves (IOER) dari 0,1% menjadi 0,15%, serta menaikkan suku bunga repo overnight dari 0% menjadi 0,5%.

"Pasar akan menyambut baik kenakan IOER begitu juga panduan lainnya yang dilakukan dengan tujuan menurunkan kurva yield dan mempertahankan perekonomian pada jalur pemulihan," kata Joseph Brusuelas, ekonom di RSM, sebagaimana dilansir CNBC International.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Bersiap! Sudah Ada Bisik-Bisik ECB Kurangi Stimulus

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular