
Kacau! Rapor Sahamnya Merah Semua, Ada Apa dengan Unilever?

Satu sentimen negatif bagi saham-saham sektor konsumer ialah data penjualan ritel Indonesia yang masih 'berdarah-darah' dengan pertumbuhan negatif alias kontraksi yang belum kunjung berhenti. Bahkan kontraksinya masih berada di kisaran belasan persen.
Kontraksi ini turut mempengaruhi kinerja emiten-emiten ritel dan barang konsumsi, termasuk UNVR.
Bank Indonesia (BI) melaporkan, penjualan ritel yang dicerminkan oleh Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari 2021 berada di 182. Turun 4,3% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/MtM).
Namun perubahan bulanan banyak dipengaruhi oleh faktor musiman. Misalnya, penjualan ritel Januari tentu tidak sebaik Desember yang diwarnai momentum Hari Natal dan Tahun Baru.
Oleh karena itu, yang lebih mencerminkan situasi sebenarnya tanpa intervensi faktor musiman adalah perubahan tahunan (year-on-year/YoY). Di sini penjualan ritel masih ambles belasan persen.
Pada Januari 2021, penjualan ritel tumbuh -16,4% YoY. Membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang -19,2% YoY, tetapi masih lumayan dalam.
"Responden menyampaikan hal tersebut disebabkan oleh menurunnya permintaan masyarakat pasca HBKN (Hari Besar Keagamaan Nasional) dan libur akhir tahun di tengah penerapan Pembatasan Pemberlakuan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali, serta faktor musim/cuaca dan bencana alam yang terjadi di beberapa daerah," sebut keterangan tertulis BI yang dirilis Selasa (9/3/2021).
Situasi diperkirakan masih suram pada Februari 2021, di mana penjualan ritel diperkirakan tumbuh -0,7% MtM dan -16,5% YoY.
"Penjualan eceran sejumlah komoditas seperti Sandang, Barang Budaya dan Rekreasi, Suku Cadang dan Aksesori, serta Peralatan Informasi dan Komunikasi terindikasi membaik, meski masih kontraksi," lanjut keterangan BI.
Kinerja Induk Juga Merosot
Penurunan kinerja UNVR juga dialami oleh sang induk, Unilever PLC. Perusahaan konsumer global yang tercatat di Bursa London ini membukukan laba bersih secara tahunan di bisnis konsumer sebesar 5,6 miliar euro atau setara US$ 6,7 miliar di 2020.
Jika memakai kurs Rp 16,846/euro, laba tersebut setara dengan Rp 94,34 triliun.
Berdasarkan pengumuman resmi, dikutip AFP, Kamis (4/2/2021), manajemen Unilever menyatakan laba bersih tahunan bisnis konsumer tersebut turun seiring dengan tahun yang bergejolak bagi bisnis perusahaan di tengah pandemi Covid-19. Laba bersih bisnis konsumer Unilever tahun 2020 turun 0,8% dari 2019.
"Di tahun yang bergejolak dan tidak dapat diprediksi ini, kami telah menunjukkan ketahanan Unilever melalui pandemi Covid-19," kata CEO Unilever Alan Jope.
Perusahaan pemilik merek konsumer terkenal, termasuk es krim Magnum, cairan pembersih Cif dan sabun muka Dove, ini pada tahun lalu menikmati kenaikan permintaan dari produk-produk pembersih tangan dan produk pembersih rumah tangga di tengah pandemi, serta peningkatan pembelian produk makanan.
Namun penjualan produk kecantikan benar-benar terpukul oleh adanya implementasi lockdown atau penguncian wilayah akibat pandemi virus corona.
"Lingkungan operasi di pasar kami bergejolak sejak pandemi Covid-19 dimulai pada awal 2020," kata manajemen Unilever dalam pernyataan itu.
"Karena orang-orang tinggal di rumah dan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk bersosialisasi, mereka menghabiskan lebih sedikit waktu untuk perawatan pribadi yang berdampak pada penjualan di sebagian besar bisnis kecantikan dan perawatan pribadi, kecuali untuk produk kebersihan yang permintaannya tinggi."
Manajemen Unilever menyatakan pertumbuhan penjualan didorong oleh produk kebersihan tangan dan rumah, binatu serta makanan dan minuman di rumah. Namun es krim turun.
Tahun 2020 juga menjadi periode luar biasa bagi Unilever menjadi perusahaan yang sepenuhnya berbasis di Inggris. Hal itu lantaran pada akhir November, Unilever menyelesaikan penggabungan bersejarah antara entitas korporasi di Belanda dan Inggris.
NEXT: Outlook Saham UNVR
(tas/tas)