
Mungkinkah Taper Tantrum Terulang di Indonesia?

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkiraan pemulihan ekonomi yang lebih cepat di Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan membuat Federal Reserve (the Fed) mulai mulai menaikkan suku bunga dan memicu kembalinya aliran dana dari negara berkembang.
Banyak pihak mulai membicarakan situasi taper tantrum 2013. Tapi mungkinkah itu terulang?
Sejumlah ekonom memandang masih terlalu prematur untuk mengatakan taper tantrum akan terulang di Indonesia. Namun, ada juga yang mengatakan taper tantrum bisa saja terjadi pada semester I-2021. Namun, semuanya sepakat, Indonesia mesti harus waspada dari setiap kebijakan yang akan diputuskan.
Melansir Economist, Selasa (9/3/2021) Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengatakan imbal hasil AS yang lebih tinggi telah menghancurkan daya tarik pasar negara berkembang, merusak mata uang, obligasi dan saham.
Pembuat kebijakan di negara berkembang sekarang khawatir atas dampak kenaikan yield US treasury tersebut. Sebab imbal hasil obligasi melonjak pada akhir bulan lalu, sementara pasar saham turun dari 7% dalam kurun waktu lebih dari seminggu.
Salah satu cara untuk mengidentifikasi korban di masa depan adalah dengan melihat karakteristik korban di masa lalu.
Berkaca pada saat taper tantrum terjadi 2013 silam, Indonesia adalah salah satu dari kelompok pasar yang kurang beruntung dan dijuluki sebagai lima negara paling rentan oleh James Lord dari Morgan Stanley. Negara lain yang termasuk lima negara paling rentan yakni Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki.
Kelima negara tersebut rentan terhadap defisit neraca berjalan dalam beberapa tahun terakhir. Semuanya berjuang dengan tekanan inflasi, nilai tukar yang dinilai terlalu tinggi, dan defisit neraca berjalan yang mencolok, dilihat dari defisit perdagangan suatu negara. Bahkan pandemi telah membuat angka-angka ekonomi terakhir tersungkur.
Jika dibandingkan tahun 2013, Lord menyebut pasar negara berkembang saat ini jauh lebih rapuh dari sebelumnya. Inflasi lebih rendah (hanya 1,4% di Indonesia) dan nilai tukar sangat murah. Indonesia sekarang mencatatkan surplus, seperti India dan Afrika Selatan.
Adapun reformasi ekonomi yang dilakukan Indonesia setelah taper tantrum mendapat pujian dari IMF, karena telah menarik kembali investor asing untuk masuk ke pasar obligasi. Diakui Chatib, arus masuk ini meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia ke arah pembalikan, ketiak pasa global kembali goyah pada 2015.
"Negara berkembang bukanlah korban the Fed yang tidak berdaya. Tapi mereka bisa menjadi korban yang malang dari kesuksesan mereka sendiri," jelas Chatib.
Kepala Ekonom BCA David Sumual memandang masih terlalu dini jika taper tantrum terjadi dalam waktu dekat. Bahkan dalam kurun waktu setahun ke depan.
Pasalnya, kata David, pada taper tantrum 2013 diawali dengan penarikan stimulus fiskal, yang kemudian setelah itu the Fed mengurangi stimulus dengan mengurangi pembelian aset. Sementara saat ini ekonomi masih belum pulih sepenuhnya.
"Kelihatannya the Fed masih fleksibel membiarkan inflasi naik, mungkin di batas amannya mereka pada kisaran 1,5% sampai 2%. Jadi, kalau misalnya di atas itu, the Fed masih cukup fleksibel membiarkannya. Mungkin bisa di atas 2%, untuk memastikan betul bahwa pemulihannya sudah terjadi," jelas David.
"Masih terlalu prematur kalau mengatakan ini akan terjadi (taper tantrum), tapi kita wajib harus siap-siap," kata David melanjutkan.
Oleh karena itu, menurut David Indonesia seharusnya bisa mengimbangi upaya pemulihan pandemi seperti yang dilakukan di AS. Misalnya dari sisi vaksinasi Covid-19.
Apabila AS sudah pulih dari pandemi Covid-19, maka tentu mereka akan lebih menarik asing, yang pada akhirnya akan membuat the Fed mengurangi stimulus (tapering off) dan mulai menaikkan suku bunga acuan.
"Tapi, kalau kita bisa imbangi dengan percepatan penanggulangan kesehatan dan vaksinasi, paling enggak kita berimbang. Tidak ketinggalan jauh. Jangan sampai ketika mereka sudah tapering, tapi kita belum apa-apa," jelas David.
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah juga memandang the Fed belum akan melakukan tapering dalam tahun ini. Karena perekonomian masih sangat rapuh dan pandemi belum bisa dipastikan kapan berakhir.
"Pemulihan itu butuh waktu, yang sekarang terjadi baru tanda-tanda saja. Selama pandemi masih mengancam perekonomian belum akan sepenuhnya pulih. Perekonomian baru bisa benar-benar pulih ketika pandemi benar-benar sudah berakhir. Saya kira 2023 itu baru terjadi," jelas Piter.
Disisi lain, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira memandang taper tantrum mungkin berulang dengan pola yang hampir sama seperti 2013.
Ketika indikator yield surat utang AS mengalami kenaikan, disertai dengan kenaikan inflasi karena perbaikan sisi permintaan di AS memicu investor untuk melakukan perombakan total portfolio.
"Saat ini terpantau yield Treasury telah naik dari 0,6% per Oktober 2020 menjadi 1,56% per 9 Maret 2021. Yield Treasury yang naik jadi alarm bahwa investor memiliki ekspektasi akan terjadi kenaikan level inflasi dalam waktu dekat," jelas Bhima kepada CNBC Indonesia, Selasa (9/3/2021).
Dampaknya tentu aliran modal asing yang masuk ke negara berkembang sejak adanya pandemi karena mencari return aset yang lebih tinggi bisa berhenti mendadak (sudden stop) atau berbalik arah (sudden reversal).
Sejauh ini yang perlu dikhawatirkan, kata Bhima ada dua yakni asing secara total melakukan penjualan bersih saham atau nett sells di pasar modal sebesar Rp 1,23 triliun dalam 1 bulan terakhir. Sementara di pasar surat utang pemerintah, kepemilikan asing sudah mulai turun Rp 29,5 triliun dalam satu bulan terakhir.
"Apakah taper tantrum bisa terjadi lebih cepat pada semester I 2021, sangat mungkin. Kita tidak bisa menyangkal taper tantrum tidak terjadi, yang perlu dilakukan otoritas moneter dan pemerintah adalah melakukan antisipasi," ujarnya.
Menurut Bhima, kejadian taper tantrum 2013 yang jadi pelajaran adalah fundamental cadangan devisa harus ditopang oleh kinerja sektor riil seperti devisa dari ekspor, bukan hanya gemuk karena penerbitan utang pemerintah.
Jika cadangan devisa rapuh ditopang sektor finansial maka taper tantrum akan menurunkan signifikan level cadev, sehingga amunisi BI untuk kendalikan kurs rupiah mulai menipis.
"Artinya, seluruh upaya pemerintah dan BI sebaiknya diarahkan untuk mencegah hot money terlalu dominan dan fokus pada menarik investasi yang berkualitas seperti FDI pembangunan industri berorientasi pada ekspor," tutur Bhima.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kiamat Taper Tantrum, Rupiah Anjlok & Suku Bunga Meroket