Jakarta, CNBC Indonesia - Banjirnya likuiditas di Amerika Serikat (AS) dan melonjaknya imbal hasil atau yield obligasi AS (US Treasury) menjadi perhatian bagi negara berkembang seperti Indonesia guna mengantisipasi efek dari taper tantrum yang pernah terjadi pada 2013.
Seperti diketahui, pengesahan paket stimulus jumbo AS senilai US$ 1,9 triliun akhir pekan lalu memberikan dampak variatif bagi pasar keuangan di Indonesia.
Di sisi lain, investor juga mewaspadai adanya kenaikan yield US treasury, yang bisa membuat investor asing kabur dari pasar obligasi di negara berkembang termasuk di Indonesia.
Kenaikan yield treasury juga memberikan pukulan telak bagi rupiah. Sepekan ini rupiah kian menjauh dari level psikologis Rp 13.900 terhadap dolar AS. Nilai tukar rupiah melemah cukup tajam melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (8/3/2021).
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan melemah 0,07% di Rp 14.300/US$. Rupiah tidak sempat masuk ke zona hijau, pelemahannya bahkan terus membengkak, hingga mengakhiri perdagangan di level Rp 14.350/US$ pada Senin (8/3/2021).
Ada isu yang berkembang kondisi taper tantrum seperti yang terjadi pada 2013 akan kembali terulang. Saat itu dana yang tadinya bertengger di dalam negeri mendadak kembali ke AS seiring dengan kenaikan imbal hasil bond AS. Rupiah dalam waktu seketika anjlok dan ekonomi Indonesia pun tumbuh semakin melambat.
Lantas apa sebetulnya taper tantrum? Ini adalah julukan bagi efek pengumuman kebijakan moneter AS tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang.
Dari berbagai literatur ekonomi disebutkan bahwa istilahnya disebut taper tantrum karena efek rencana kebijakan itu langsung muncul walaupun tindakan kebijakan moneter belum dilakukan.
Adapun 'tapering' diambil dari istilah di dunia olahraga ketika sang atlet beristirahat/mengurangi porsi latihan pada satu hari persis sebelum pertandingan. Sementara itu, tantrum banyak digunakan dalam istilah psikologi dan parenting yang artinya kondisi emosi atau mengamuk.
NEXT: Seperti apa taper tantrum pada 2013?
Pada 2013, bank sentral AS, The Fed, yang saat itu dipimpin Ben Bernanke (kini the Fed dipimpin Jerome Powell) akhirnya membuat keputusan terkait pengurangan stimulus (tapering off) dari semula US$ 85 miliar per bulan menjadi US$ 75 miliar per bulan, berlaku Januari 2014.
Seperti bank sentral lainnya, the Fed mengelola perekonomian AS dengan cara menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan. Selama 5 tahun, the Fed telah mempertahankan suku bunga 0%, namun the Fed tidak bisa menurunkan suku bunga di bawah 0%. Akhirnya the Fed merangsang ekonomi AS dengan memompa uang langsung ke dalam sistem keuangan.
Saat itu, quantitative easing (QE) atau pembelian aset oleh the Fed dibagi menjadi dua, yakni US$ 40 miliar untuk membeli surat utang AS (US Treasury) dan US$ 35 miliar untuk membeli obligasi kredit perumahan yang akan dilakukan dimulai Januari tahun 2014.
The Fed mengeluarkan uang untuk membeli obligasi jangka panjang, baik itu obligasi berupa surat utang AS dan obligasi kredit perumahan. Harapannya adalah, uang itu kemudian bisa digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lainnya.
Kebijakan QE dari The Fed itu telah membantu AS yang dilanda resesi sejak 2009. Saat wacana tapering off muncul, dolar AS menjadi begitu perkasa hingga ada istilah 'taper tantrum'.
Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE mulai akhir 2008, nilai tukar dolar AS melempem. Dengan demikian, saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan, dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah 'taper tantrum', di mana mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.
Jadi taper tantrum adalah istilah bagi efek pengumuman kebijakan moneter AS tahun 2013 yang langsung memukul kurs sejumlah negara berkembang.
Dampaknya ke Indonesia
Melansir Bloomberg, pada 2013 imbal hasil AS melonjak menyusul pengungkapan tak terduga oleh Ketua Fed saat itu Ben Bernanke bahwa para pejabat sedang memikirkan untuk menghentikan pembelian aset mereka, yang kemudian memicu volatilitas pasar keuangan yang parah dan ingatan pahit di antara investor.
The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.
Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir, muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015 saat suku bunga acuan akhirnya dinaikkan 25 basis poin menjadi 0,5%. Setelahnya, The Fed mempertahankan suku bunga tersebut selama 1 tahun, penguatan indeks dolar pun mereda.
Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.
Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.
Mengutip laporan Kementerian Keuangan bertajuk 'Pengaruh Quantitative Easing dan Tapering Off serta Indikator Makroekonomi terhadap Nilai Tukar Rupiah', disebutkan kebijakan pengurangan QE yang dikeluarkan oleh The Fed pada 2013, terbukti memiliki hubungan negatif dan signifikan terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
Dalam laporan tersebut kemudian, mengharapkan agar Bank Indonesia (BI) selaku pengambil alih kebijakan moneter bisa mengatasi dampak negatif dari risiko kebijakan yang dikeluarkan oleh Bank Sentral di Amerika Serikat.
"Diharapkan Bank Indonesia dapat mempertahankan keberhasilannya dalam mengatasi dampak negatif dari salah satu jenis kebijakan moneter non konvensional, baik melalui kebijakan suku bunga ataupun kebijakan makroprudensial yang efektif."
"Hal ini dikarenakan seiring dengan kemajuan teknologi dan meningkatnya kecepatan pertukaran informasi, membuat kebijakan moneter non konvensional semakin berkembang dan menghasilkan berbagai jenis kebijakan baru," tulis laporan Kemenkeu dikutip CNBC Indonesia, Selasa (9/3/2021).
Selain melemahnya rupiah kala itu, pada bulan Juli 2013, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tumbang sangat dalam. Bahkan saat itu IHSG jatuh lebih dari 20%, atau sudah memasuki fase bearish (turun). Salah satu penyebab dari tumbangnya IHSG kala itu juga berasal dari rencana the Fed mengurangi stimulus.
Keinginan the Fed mengurangi stimulus telah membuat dana asing yang parkir di Indonesia ramai-ramai keluar dari Indonesia.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepanjang tahun 2013 saat itu, investor asing yang mencatatkan net sell asing di pasar saham sebesar Rp 15,29 triliun. Nilai dana asing yang keluar itu hampir sama dengan nilai dana asing yang masuk tahun 2012, sebesar Rp 15,2 triliun.