The Fed Tegaskan Tak Ada Tapering, Pasar Finansial RI Aman?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 February 2021 15:07
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Steven Senne)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Steven Senne)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) merilis notula rapat kebijakan moneter bulan Januari lalu. Dalam notula tersebut, kembali ditegaskan penguaran nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan nama "tapering", belum akan dilakukan di tahun ini.

Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memberikan dampak yang besar di pasar finansial termasuk Indonesia.

Dalam notula tersebut, The Fed juga melihat pemulihan ekonomi AS masih berjalan lambat, sehingga kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama. Artinya suku bunga <0,25% serta QE senilai US$ 120 miliar per bulan akan dipertahankan dalam waktu yang cukup lama.

Setelah mengalami kontraksi 5% di tiga bulan pertama 2020, produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 malah ambrol hingga 31,4% secara quarterly annualized atau kuartalan yang disetahunkan (dikali 4). Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS. Dengan kontraksi yang terjadi dalam dua kuartal beruntun, artinya Negeri Adikuasa mengalami resesi.

Perekonomian AS memang bangkit di kuartal III-2020, melesat 33,4%, tetapi tingginya PDB tersebut lebih karena low base effect dari kuartal sebelumnya. Terbukti, di kuartal IV-2020 PDB AS hanya tumbuh 4%.

"Para anggota dewan melihat kondisi ekonomi masih jauh dari target jangka panjang dan kebijakan moneter masih akan akomodatif sampai target tersebut tercapai," isi notula tersebut, sebagaimana dilansir CNBC International.

"Akibatnya, para anggota dawn mendukung kebijakan saat ini dan panduan dasar untuk suku bunga (federal funds rate/FFR) dan nilai program pembelian aset".

The Fed menetapkan target rata-rata inflasi sebesar 2%, dan pasar tenaga kerja mencapai full employment, sebelum mulai merubah kebijakannya.

Saat ini, inflasi di AS berada di level 1,3%, sementara tingkat pengangguran di bulan Januari berada di level 6,3%.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kebijakan The Fed Bantu Rupiah dan IHSG Bangkit

Pada bulan Maret lalu, baik rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami aksi jual masif setelah virus corona ditetapkan sebagai pandemi.

Sejak pertengahan Februari hingga 23 Maret 2020 lalu, nilai tukar rupiah jeblok hingga lebih dari 21%, menyentuh Rp 16.620/US$, level terlemah sejak krisis moneter 1998. IHSG pada periode yang sama malah lebih parah, ambrol lebih dari 32% ke 3.937,632 pada 24 Maret, yang merupakan level terendah sejak Agustus 2013.

Tidak hanya IHSG, bursa saham seluruh dunia mengalami aksi jual masif, Wall Street juga "kebakaran".

Dolar AS yang menyandang status aset aman (safe haven) menjadi buruan pelaku pasar.

The Fed kemudian membabat habis suku bunganya, dari 1,75% menjadi 0,25% di bulan Maret. Selain itu, The Fed juga mengaktifkan kembali program QE dengan nilai tak terbatas, artinya berapapun akan digelontorkan guna membangkitkan perekonomian AS. Dalam perjalanannya, QE The Fed senilai US$ 120 miliar per bulan.

Kebijakan The Fed tersebut membuat dolar AS perlahan melemah, dan Wall Street mulai bangkit hingga akhirnya mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.

Pelemahan dolar AS tersebut membuat rupiah perlahan memangkas pelemahan dan stabil kembali di kisaran Rp 14.000-an/US$. Sementara IHSG juga berhasil bangkit dari keterpurukan, mengikuti pergerakan Wall Street.

Artinya, jika The Fed masih akan mempertahankan kebijakan moneter longgar dalam waktu yang lama, atau tapering belum akan dilakukan di akhir tahun ini, pasar finansial Indonesia masih akan aman.

Begitu juga ketika pada akhirnya The Fed melakukan tapering, kemungkinan tidak akan terjadi gejolak yang besar, sebab The Fed berkomitmen untuk meredam terjadinya gejolak tersebut atau yang dikenal dengan istilah taper tantrum.

Taper tantrum pernah terjadi pada tahun pada pertengahan tahun 2013 lalu, The Fed yang saat itu dipimpin Ben Bernanke, mengeluarkan wacana tapering.

Saat wacana tersebut muncul dolar AS menjadi begitu perkasa, hingga ada istilah "taper tantrum". Maklum saja, sejak diterapkan suku bunga rendah serta QE, nilai tukar dolar AS melempem. Sehingga saat muncul wacana pengurangan QE hingga akhirnya dihentikan dolar AS langsung mengamuk atau yang dikenal dengan istilah "taper tantrum" mata uang lainnya dibuat rontok oleh the greenback.

The Fed akhirnya mulai mengurangi QE sebesar US$ 10 miliar per bulan dimulai pada Desember 2013, hingga akhirnya dihentikan pada Oktober 2014. Akibatnya, sepanjang 2014, indeks dolar melesat lebih dari 12%.

Tidak sampai di situ, setelah QE berakhir muncul wacana normalisasi alias kenaikan suku bunga The Fed, yang membuat dolar AS terus berjaya hingga akhir 2015.


Rupiah menjadi salah satu korban keganasan taper tantrum kala itu. Sejak Bernanke mengumumkan tapering Juni 2013 nilai tukar rupiah terus merosot hingga puncak pelemahan pada September 2015.

Di akhir Mei 2013, kurs rupiah berada di level Rp 9.790/US$ sementara pada 29 September 2015 menyentuh level terlemah Rp 14.730/US$, artinya terjadi pelemahan lebih dari 50%.

IHSG saat awal taper tantrum juga mengalami aksi jual. Pada periode Mei-September 2013 IHSG jeblok hingga 23%.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular