Lira Turki, Sang Raja Mata Uang yang Kini Merana

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 March 2021 18:45
tayyip erdogan
Foto: REUTERS/Murad Sezer

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar lira Turki kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (5/3/2021). Lira pada pertengahan Februari lalu merupakan raja mata uang dunia jika melihat kinerjanya melawan dolar AS. Tetapi hanya dalam tempo 2 pekan saja, posisinya langsung melorot ke posisi 18 "klasemen" mata uang dunia.

Pada pukul 17:12 WIB, lira diperdagangkan di kisaran 7,5287/US$, melemah 0,4% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dilihat dari posisi akhir 2020 7,4320/US$ hingga posisi hari ini, lira melemah 1,3%.

Padahal pada 18 Februari lalu saat menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di dunia, lira membukukan peguatan 6,6% melawan dolar AS. Artinya dalam tempo 2 pekan saja, lira Turki jeblok lebih dari 8%.

idrFoto: Refinitiv

Kenaikan yield obligasi (Treasury) AS menjadi awal lira berbalik arah. Yield Terasury AS mulai terakselerasi kenaikannya sejak 16 Februari lalu hingga akhirnya mencapai level 1,6% pada pekan lalu tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan bank sentral AS (The Fed) belum membabat habis suku bunganya.

Kenaikan yield Treasury yang dipicu prospek pemulihan ekonomi AS serta kenaikan inflasi membuat pasar keuangan global kembali dihantui oleh tapering (pengurangan program pembelian aset atau quantitative easing) bank sentral AS atau The Fed yang dapat memicu taper tantrum.

"Jika pasar mulai percaya The Fed kehilangan kendali terhadap arah pasar obligasi, semua isu mengenai taper tantrum akan kembali muncul," kata Art Cahshin, direktur operasi di UBS, sebagaimana dilansir CNBC International, Jumat (26/2/2021).

Taper tantrum pernah terjadi pada periode 2013-2015, saat itu indeks dolar AS melesat tajam. Indeks yang mengukur kekuatan dolar AS tersebut sejak pekan lalu juga telah merangkak naik. Hari ini saja penguatan tercatat 0,3% di 92,392, yang merupakan level tertinggi dalam 3 bulan terakhir. Sepanjang tahun ini, indeks dolar AS sudah menguat 2,2%.

Namun, lira juga diterpa tekanan dari dalam negeri, yakni masalah tingginya inflasi yang pada tahun lalu membuat kurs lira babak belur.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Inflasi Biang Kerok Pelemahan Lira 

Pada tahun lalu, lira mengalami aksi jual masif, bahkan warga Turki sendiri "membuang" lira dan memilih menginvestasikan dananya di emas.

Alhasil, kurs lira sempat jeblok hingga ke 8,5789/US$ pada 6 November 2020, yang merupakan rekor terendah sepanjang sejarah. Sepanjang tahun 2020 hingga ke level terlemah tersebut lira jeblok lebih dari 44%.

Jebloknya lira pada tahun lalu terjadi akibat suku bunga yang lebih rendah dari inflasi. Masalah inflasi tersebut sempat mereda setelah pucuk pimpinan bank sentral Turki (TCMB) berganti.

Pada bulan November 2020 lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memecat Gubernur TCMB Murat Uysal, dan menggatinya dengan Naci Agbal, mantan menteri keuangan Turki. Sejak saat itu, suku bunga terus dinaikkan hingga saat ini berada di level 17%.

Sehingga suku bunga kini sudah lebih tinggi dari inflasi.

Sejak Gubernur TCMB diganti dan terus menaikkan suku bunga, kepercayaan pelaku pasar terhadap lira kembali pulih yang sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Turki. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.

CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.

Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi.

Namun, inflasi kini kembali menanjak, pada Februari lalu tercatat sebesar 15,61, naik dari bulan sebelumnya yang sedikit di bawah 15%. Hal tersebut memicu kecemasan jika inflasi akan kembali di atas suku bunga TCMB. CDS pun mulai merangkak naik.

Para ekonom juga melihat suku bunga 17% masih belum terlalu rendah untuk meredam kenaikan inflasi. Alhasil, masalah lama bersemi kembali, dan lira kembali tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular