
Lira Turki, Sang Raja Mata Uang yang Kini Merana

Pada tahun lalu, lira mengalami aksi jual masif, bahkan warga Turki sendiri "membuang" lira dan memilih menginvestasikan dananya di emas.
Alhasil, kurs lira sempat jeblok hingga ke 8,5789/US$ pada 6 November 2020, yang merupakan rekor terendah sepanjang sejarah. Sepanjang tahun 2020 hingga ke level terlemah tersebut lira jeblok lebih dari 44%.
Jebloknya lira pada tahun lalu terjadi akibat suku bunga yang lebih rendah dari inflasi. Masalah inflasi tersebut sempat mereda setelah pucuk pimpinan bank sentral Turki (TCMB) berganti.
Pada bulan November 2020 lalu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memecat Gubernur TCMB Murat Uysal, dan menggatinya dengan Naci Agbal, mantan menteri keuangan Turki. Sejak saat itu, suku bunga terus dinaikkan hingga saat ini berada di level 17%.
Sehingga suku bunga kini sudah lebih tinggi dari inflasi.
Sejak Gubernur TCMB diganti dan terus menaikkan suku bunga, kepercayaan pelaku pasar terhadap lira kembali pulih yang sejalan dengan menurunnya premi risiko utang yang dicerminkan oleh credit default swap (CDS) Turki. Semakin tinggi CDS, maka risiko gagal bayar semakin tinggi.
CDS adalah kontrak derivatif swap di mana pembeli melakukan pembayaran ke penjual atas penutupan risiko gagal bayar (default) debiturnya. Artinya, dia mendapatkan pembayaran bila terjadi gagal bayar atau kejadian lain yang mengancam pembayaran kredit yang ada.
Dalam praktiknya, CDS bisa menjadi patokan persepsi risiko berinvestasi.
Namun, inflasi kini kembali menanjak, pada Februari lalu tercatat sebesar 15,61, naik dari bulan sebelumnya yang sedikit di bawah 15%. Hal tersebut memicu kecemasan jika inflasi akan kembali di atas suku bunga TCMB. CDS pun mulai merangkak naik.
Para ekonom juga melihat suku bunga 17% masih belum terlalu rendah untuk meredam kenaikan inflasi. Alhasil, masalah lama bersemi kembali, dan lira kembali tertekan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]