Batu Bara Tembus US$ 85 Lagi, Tahun Ini Penambang Bisa Cuan

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
03 March 2021 08:35
Pekerja melakukan bongkar muat batu bara di Terminal Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (23/2/2021). Pemerintah telah mengeluarkan peraturan turunan dari Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Adapun salah satunya Peraturan Pemerintah yang diterbitkan yaitu Peraturan Pemerintah No.25 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Batu Bara di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara terus mengalami apresiasi sejak minggu terakhir bulan lalu. Terhitung sejak 24 Februari 2021, harga kontrak futures (berjangka) ICE Newcastle telah melesat 10,62%.

Sebelum meroket dobel digit dalam sepekan, harga si batu hitam memang terus tertekan sejak minggu kedua bulan Februari. Pada perdagangan kemarin (2/3/2021), harga kontrak yang aktif ditransaksikan di bursa berjangka tersebut naik 1,3% ke US$ 84,9/ton. 

Volatilitas harga batu bara di tahun 2021 terbilang tinggi. Sekalinya naik langsung kencang. Namun saat anjlok pun langsung signifikan. Adanya potensi commodity supercycle dan prospek ekonomi yang lebih cerah harga batu bara diperkirakan bakal lebih tinggi dibanding tahun lalu. 

Tahun lalu harga batu bara termal drop sampai ke level US$ 50/ton. Hal ini membuat banyak penambang batu bara asal Australia mengalami kerugian.

Argus Media melaporkan semua perusahaan mempertahankan produksi selama periode harga rendah, yang berlangsung dari Mei hingga November, karena mereka terikat pada kontrak pengambilan atau pembayaran volume tetap untuk menggunakan infrastruktur kereta api dan pelabuhan pihak ketiga.

Kontrak-kontrak ini berarti bahwa sulit bagi perusahaan pertambangan batu bara Australia untuk melenturkan produksi sebagai respons terhadap kondisi pasar, meskipun kelebihan kapasitas di beberapa sistem pelabuhan dan kereta api dapat meningkatkan fleksibilitas.

Biaya tambang terbilang cukup tinggi selama tahun lalu. Hal ini disebabkan karena biaya mitigasi Covid-19 mengimbangi keuntungan dari biaya solar dan bahan habis pakai yang lebih rendah.

Sebagian besar perusahaan mengarahkan biaya yang lebih tinggi pada tahun 2021, sebagian besar karena dolar Australia yang lebih kuat dan beberapa inflasi pertambangan yang lebih luas terkait dengan tambang yang lebih tua dan nisbah kupas yang tinggi.

Harga batu bara yang lebih tinggi tahun ini di kisaran US$ 80/ton diharapkan dapat meningkatkan profitabilitas para penambang di Australia. Namun Negeri Kanguru cenderung kehilangan pasarnya karena China memboikot produk batu bara asal Australia. 

China lebih memilih batu bara termal asal Indonesia. Tentu saja hal ini menguntungkan bagi penambang dan eksportir si batu hitam asal Tanah Air. Produksi batu bara tahun ini diperkirakan bakal lebih tinggi dari 550 juta ton. 

Sementara itu dari sisi pemerintah, momentum pandemi Covid-19 juga digunakan untuk melakukan hilirisasi industri batu bara nasional. Salah satu proyek yang sedang digencarkan adalah gasifikasi batu bara. Nantinya batu bara akan difokuskan untuk dikonversi menjadi Dimetil Eter (DME) dan metanol.

Penggunaan DME adalah untuk substitusi LPG yang selama ini sangat bergantung pada impor. Sebagai salah satu bentuk insentif pemerintah menyiapkan regulasi yang akan memberikan pembebasan royalti atau royalti nol persen untuk batu bara yang digunakan dalam proses hilirisasi batu bara bernilai tambah ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ternyata Batu Bara Masih Kuat Nanjak, Harganya Tembus US$ 63

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular