Terangkat 0,16% Sepekan, IHSG Masih 'Gelagapan' Tembus 6.300

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
27 February 2021 20:37
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pekan ini masih cukup ciamik, walaupun sentimen dari kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) sempat menghantui pasar global sepanjang pekan ini.

Memang pada perdagangan Jumat (26/2/2021) akhir pekan ini, IHSG berakhir kurang menggembirakan, di mana indeks bursa acuan nasional tersebut melemah 0,76% ke level 6.241,8. Namun sepanjang pekan ini, IHSG masih mampu mencatatkan penguatan sebesar 0,16%.

Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 81,2 triliun dan investor juga masih memborong saham-saham di pasar reguler sebanyak Rp 1,02 triliun sepanjang pekan ini.

Kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS diikuti oleh aksi jual saham teknologi di pasar saham AS maupun Asia membuat pergerakan IHSG sedikit tergoyahkan dan hanya melemah dua hari saja, yakni pada Rabu (24/2/2021) dan Jumat akhir pekan ini.

Namun, yang masih sulit dihadapi oleh IHSG saat ini adalah menembus level psikologisnya di 6.300. IHSG berulang kali mencoba menembus level tersebut, namun hanya sebentar dan kembali gagal menembus level tersebut.

Terlepas dari kerja keras IHSG menembus level 6.300-nya, kenaikan yield obligasi pemerintah AS kembali terjadi seiring adanya sinyal positif dari pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam.

Walaupun beberapa kali sempat turun, namun kembali naik yang menandakan bahwa investor obligasi di AS sedang melepas obligasi tersebut.

Berdasarkan data dari situs World Government Bond, yield obligasi pemerintah AS acuan tenor 10 tahun per akhir pekan ini, Jumat (26/2/2021) kembali turun 12,3 basis poin (bp) ke level 1,407%.

Bahkan, pada pekan ini, yield Treasury tersebut sempat menyentuh level tertingginya dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yakni menembus level 1,6%. Padahal di penghujung tahun 2020, imbal hasilnya masih di bawah 1%.

Sebelum turun kembali pada perdagangan akhir pekan ini, yield Treasury juga sempat turun yang diakibatkan oleh pelaku pasar menerima pernyataan ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell.

Powell mengatakan perekonomian AS masih jauh dari kata pulih dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Oleh karena itu, bantuan dari kebijakan moneter longgar masih diperlukan.

The Fed saat ini menerapkan kebijakan suku bunga rendah 0,25%, dan masih akan dipertahankan hingga 2 tahun ke depan. Hal tersebut tercermin dari data dari Fed Dot Plot, yang menggambarkan proyeksi suku bunga para pembuat kebijakan (Federal Open Market Committee), menunjukkan suku bunga baru akan dinaikkan pada tahun 2023.

Selain itu, ada juga kebijakan pembelian aset atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE) nilainya mencapai US$ 120 miliar per bulan.

"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga karja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell dalam testimoninya di hadapan Komite Perbankan Senat, Kongres AS, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).

Namun, penurunan yield sepertinya hanya sementara, karena jika dilihat dari trennya, maka yield Treasury AS masih dalam tren kenaikan dan kemungkinan akan kembali naik jika tidak ada kebijakan tertentu yang dapat menghambat lajunya.

Imbal hasil yang tinggi juga mendorong investor untuk berpindah dari saham ke obligasi. Sebagai perbandingan imbal hasil dividen (dividen yield) indeks S&P 50-yang premi risikonya lebih tinggi dari obligasi-kini berada di level 1,47%.

"Jika melihat yield riil, mereka terlalu rendah jika mempertimbangkan ekspektasi pertumbuhan dan sepertinya yield riil dalam jangka panjang akan terus menguat seiring dengan membaiknya data ekonomi," tutur Charlie Ripley, perencana investasi senior Allianz Investment Management, sebagaimana dikutip CNBC International.

Kenaikan yield itu juga terjadi di tengah ekspektasi bahwa ekonomi AS akan membaik di tengah vaksinasi dan kucuran stimulus fiskal US$ 1,9 triliun. Partai Demokrat sejauh ini berjuang untuk meloloskan stimulus tersebut, yang dibarengi kenaikan upah minimum sebesar US$ 15/pekerja.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi Disuntik Vaksin Corona, Bursa RI Siap-siap ke 6.500

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular