
Kabar Buruk Dari AS, Rupiah Melemah 1% Lawan Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali tak kuat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pekan ini, dan sekali lagi membuktikan tidak mampu bertahan lama di bawah level psikologis Rp 14.000/US$.
Memburuknya sentimen pelaku pasar, kenaikan yield obligasi (Treasury) serta penguatan dolar AS memberikan pukulan telak bagi rupiah.
Sebelumnya, di awal tahun ini rupiah menembus Rp 14.000/US$, bahkan mencapai Rp 13.885/US$ pada 4 Januari lalu. Tetapi lima hari perdagangan setelahnya kembali ke atas Rp 14.000/US$.
Rupiah berhasil menembus lagi level psikologis tersebut pada 21 Januari lalu, tetapi hanya berumur sehari saja.
Mata Uang Garuda kembali ke bawah Rp 14.000/US$ pada 8 Februari lalu, lagi-lagi bertahan hanya lima hari perdagangan, Rabu lalu sudah berada di atas level psikologis tersebut.
Memburuknya sentimen pelaku pasar terlihat dari ambruknya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis waktu setempat, disusul koreksi parah bursa utama Asia pada perdagangan Jumat akhir pekan ini.
Sebagai mata uang emerging market yang dianggap lebih berisiko, pergerakan rupiah sangat dipengaruhi sentimen pelaku pasar. Saat sentimen pelaku pasar memburuk maka aset-aset berisiko akan dihindari.
Selain itu, Kenaikan tajam imbal hasil yield obligasi pemerintah (Treasury) Amerika Serikat (AS) membuat rupiah tertekan. Sinyal positif dari pemulihan ekonomi di AS inilah yang membuat pergerakan imbal hasil obligasi (yield) pemerintah AS (US Treasury Bond) bergerak naik cukup signifikan sepanjang pekan ini.
Walaupun beberapa kali sempat turun, namun kembali naik yang menandakan bahwa investor obligasi di AS sedang melepas obligasi tersebut.
Berdasarkan data dari situs World Government Bond, yield obligasi pemerintah AS acuan tenor 10 tahun per akhir pekan ini, Jumat (26/2/2021) kembali turun 12,3 basis poin (bp) ke level 1,407%.
Kenaikan tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, sebab selisih yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Ketika terjadi capital outflow, maka nilai tukar rupiah akan tertekan.
Kenaikan pesat yield Treasury pada pekan ini diakibatkan karena pelaku pasar mulai mengantisipasi prospek pemulihan ekonomi dan potensi tingginya inflasi sehingga mereka meminta kompensasi dengan kenaikan imbal hasil.
"Yield sangat menentukan. Di kisaran 1,5%, yield obligasi bisa kompetitif dibandingkan dengan dividend yield di pasar saham. Ingat, tidak ada risiko di obligasi, uang Anda kembali 100%," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Selain yield Treasury, indeks dolar AS yang kembali naik pada pekan ini juga menambah tekanan bagi rupiah, di mana indeks dollar AS naik 0,57% sepanjang pekan ini.
Beberapa data ekonomi yang dirilis AS pekan ini juga membuat the greenback kembali bangkit. Departemen Tenaga kerja AS Kamis (25/2/2021) melaporkan klaim awal pengangguran pekan lalu tercatat 730.000, atau jauh lebih baik dari prediksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka 845.000.
Sementara Departemen Perdagangan merilis data pesanan barang tahan lama per Januari yang naik 3,4%, jauh lebih baik dari konsensus Dow Jones pada angka 1%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tekanan Masih Besar, Rupiah Akhir 2021 Bisa di Rp 15.000/USD