
Jatuh 1% Lebih, Rupiah Sentuh Level Terlemah 2021

Kenaikan tajam yield obligasi (Treasury) AS membuat rupiah tertekan, bahkan mungkin jeblok tajam jika melihat pergerakan di pasar NDF. Kamis kemarin, yield Treasury naik 12,6 basis poin ke 1,515%, bahkan sebelumnya sempat menyentuh 1,614%, tertinggi sejak Februari tahun lalu, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi, dan sebelum bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) membabat habis suku bunganya menjadi 0,25%.
Kenaikan tersebut berisiko memicu capital outflow dari pasar obligasi Indonesia, sebab selisih yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) menjadi menyempit. Ketika terjadi capital outflow, maka nilai tukar rupiah akan tertekan.
Kenaikan pesat yield Treasury dalam waktu singkat ini diakibatkan karena pelaku pasar mulai mengantisipasi prospek pemulihan ekonomi dan potensi tingginya inflasi sehingga mereka meminta kompensasi dengan kenaikan imbal hasil.
"Yield sangat menentukan. Di kisaran 1,5%, yield obligasi bisa kompetitif dibandingkan dividend yield di pasar saham. Ingat, tidak ada risiko di obligasi, uang Anda kembali 100%," kata Peter Tuz, Presiden Chase Investment Counsel yang berbasis di Virginia (AS), seperti dikutip dari Reuters.
Selain yield Treasury, indeks dolar AS yang naik 0,14% ke 90,26 juga menambah tekanan bagi rupiah. Beberapa data ekonomi yang dirilis AS kemarin membuat the greenback bangkit.
Departemen Tenaga kerja AS kemarin melaporkan klaim awal pengangguran pekan lalu tercatat 730.000, atau jauh lebih baik dari prediksi ekonom dalam survei Dow Jones yang memperkirakan angka 845.000.
Sementara Departemen Perdagangan merilis data pesanan barang tahan lama per Januari yang naik 3,4%, jauh lebih baik dari konsensus Dow Jones pada angka 1%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
[Gambas:Video CNBC]
