
Rupiah Tak Mampu Menguat Saat Dolar AS Lesu, Ada Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah berakhir stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (25/2/2021). Yield obligasi (Treasury) yang menanjak sementara indeks dolar AS melemah membuat rupiah "tidak kemana-mana".
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan stagnan di Rp 14.080/US$. Sempat menguat tipis 0,04%, rupiah langsung berbalik melemah hingga 0,18% ke Rp 14.105/US$.
Setelahnya rupiah berhasil memangkas pelemahan dan berakhir stagnan di Rp 14.080/US$ di pasar spot.
Dibandingkan mata uang utama Asia lainnya, kinerja rupiah tidak terlalu buruk, sebab banyak yang melemah. Hingga pukul 15:07 WIB, yen Jepang menjadi yang terburuk dengan pelemahan 0,19%, sementara yuan China yang terbaik dengan penguatan 0,1%.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Rupiah tak mampu menguat meski dolar AS juga sedang tertekan. Indeks yang mengukur kekuatan the greenback kembali turun 0,29% 89,91, terendah sejak 8 Januari lalu. Bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, sekali lagi menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga sampai rata-rata inflasi sebesar 2%, yang diperkirakan baru kana dicapai dalam 3 tahun.
Selain itu stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun diperkirakan akan cair dalam waktu dekat.
Stimulus tersebut akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.
House of Representative (DPR) AS akan melakukan voting terhadap proposal stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut di pekan ini. Jika berhasil disetujui, maka proposal tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Senat.
Stimulus tersebut diharapkan bisa cair sebelum pertengahan Maret, dimana stimulus fiskal yang ada saat ini akan berakhir.
Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah. Secara teori dolar AS akan melemah.
Kenaikan yield Treasury AS menjadi penyebab rupiah tak mampu menguat. Yield Treasury tenor 10 tahun naik 19,1 basis poin ke 1,4081%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi setelah BI yang kembali memangkas suku bunga pekan lalu tentunya yield SBN akan terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.
Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article The Fed Tetap Tegas, Rupiah Tetap Liar!
