
Duh! Rupiah di Kurs Tengah BI dan Spot Tembus Rp 14.100/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) di kurs tengah Bank Indonesia (BI) juga di pasar spot pada perdagangan Kamis (25/2/2021). Keduanya kini di atas Rp 14.100/US$.
Berdasarkan data dari BI, kurs tengah atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) melemah 0,11% ke Rp 14.104/US$. Sementara di pasar spot, hingga pukul 10:00 WIB, rupiah melemah 0,18% ke Rp 14.105/US$.
Tekanan bagi rupiah sekali lagi datang dari kenaikan yield obligasi (Treasury) AS. Pagi ini, yield Treasury tenor 10 tahun naik 19,1 basis poin ke 1,4081%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2020, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi setelah BI yang kembali memangkas suku bunga pekan lalu tentunya yield SBN akan terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.
Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.
Ekspektasi kenaikan inflasi di AS menjadi pemicu kenaikan yield Treasury. Padahal dalam 2 hari terakhir, ketua bank sentral AS (The Fed), Jerome Powell, yang memberikan testimoni di Kongres AS menegaskan jika inflasi masih lemah.
"Perekonomian AS masih jauh dari target inflasi dan pasar tenaga karja kami, dan kemungkinan memerlukan waktu cukup lama untuk mendapatkan kemajuan yang substansial," kata Powell saat memberikan testimoni di hadapan Komite Perbankan Senat AS, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (24/2/2021).
Powell menegaskan The Fed berkomitmen untuk menggunakan instrumen moneter secara penuh untuk mendukung perekonomian, serta membantu memastikan pemulihan ekonomi hingga sekuat mungkin.
Sementara kemarin, Powell memberikan testimoni di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representative (DPR), pernyataannya pun tidak jauh berbeda dibandingkan hari sebelumnya.
"Kami jujur saja bahwa tantangan masih berat. Kami tidak akan menaikkan suku bunga acuan sampai ada tanda-tanda inflasi menuju target 2%. Kita bisa mencapai itu, kita akan menuju ke sana. Namun mungkin butuh waktu lebih dari tiga tahun," ungkap Powell, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Meski demikian, yield Treasury AS masih terus saja menanjak. Sebabnya The Fed yang masih membanjiri perekonomian dengan likuiditas, pemerintah AS juga berencana menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun.
Ketika itu terjadi, jumlah uang tunai yang beredar akan semakin bertambah, dan inflasi berisiko melesat.
Stimulus senilai US$ 1,9 triliun akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dekati Rp 14.000/US$, Rupiah Kuat di Kurs JISDOR & Juara Asia
