
Dolar AS Keok & Sentimen Membaik, Rupiah ke Rp 14.000/US$?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis 0,07% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.080/US$ pada perdagangan Rabu kemarin. Penurunan yield obligasi (Treasury) di serta indeks dolar AS di perdagangan sesi Asia kemarin membuat rupiah mampu menguat.
Namun di perdagangan sesi AS kemarin, keduanya berhasil bangkit, yield Treasury bahkan berbalik naik dan indeks dolar AS stagnan.
Penurunan yield Treasury terjadi setelah bos bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), Jerome Powell, mengatakan perekonomian AS masih jauh dari kata pulih dari kemerosotan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Oleh karena itu, bantuan dari kebijakan moneter longgar masih diperlukan.
Pernyataan Powell tersebut juga memberikan terkanan bagi dolar AS, apalagi stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun diperkirakan akan cair dalam waktu dekat.
Stimulus tersebut akan menjadi yang terbesar kedua sepanjang sejarah AS, setelah US$ 2 triliun yang digelontorkan pada bulan Maret 2020 lalu.
House of Representative (DPR) AS akan melakukan voting terhadap proposal stimulus senilai US$ 1,9 triliun tersebut di pekan ini. Jika berhasil disetujui, maka proposal tersebut selanjutnya akan diserahkan ke Senat.
Stimulus tersebut diharapkan bisa cair sebelum pertengahan Maret, dimana stimulus fiskal yang ada saat ini akan berakhir.
Saat stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah. Secara teori dolar AS akan melemah.
Pada perdagangan hari ini, Kamis (25/2/2021), indeks dolar AS kembali turun tipis 0,07% pagi ini ke 90,115, sementara yield Treasury naik 12,2 basis poin ke 1,4012%. Namun, sentimen pelaku pasar yang sedang bagus bisa jadi akan menopang rupiah.
Bagusnya sentimen pelaku pasar terlihat dari bursa saham AS (Wall Street) menguat tajam, dengan indeks Dow Jones mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Kemudian bursa utama Asia menyusul, indeks Nikkei Jepang melesat 1,7%, sementara Kospi Korea Selatan meroket 2% lebih.
Secara teknikal, meski mampu menguat 2 hari beruntun, tetapi rupiah masih tertahan di atas (moving average/MA) 50 hari atau MA 50 (garis hijau), sehingga tekanan masih cukup besar. Rupiah yang kembali ke atas MA 50 berarti pola death cross yang terjadi di November 2020 kemungkinan sudah berakhir.
Death cross merupakan perpotongan MA 50 hari, MA 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi dimana MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.
Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD/IDR, artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh. Selama tertahan di atas MA 50, maka pola death cross akan berakhir, sementara jika kembali ke bawahnya pola tersebut bisa berlanjut lagi.
![]() Foto: Refinitiv |
Sementara itu, indikator stochastic sudah masuk wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic sudah memasuki wilayah overbought membuka ruang penguatan rupiah.
Rupiah kini persis berada di support Rp 14.080/US$. Rupiah berpeluang menguat ke 14.030/US$ (MA 50) jika support tersebut ditembus. Level psikologis Rp 14.000/US$ menjadi target penguatan selanjutnya.
Sementara selama tertahan di atas support, rupiah berisiko melemah dengan resisten berada di kisaran Rp 14.130/US$. Jika level tersebut juga dilewati, rupiah akan melemah lebih jauh, menuju Rp 14.180/US$ (MA 100).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perry Warjiyo Bakal Dua Periode, Cek Rupiah Pagi Ini
