
Serbuan Pemodal Ritel di Tahun Pemulihan Pasar Modal

Tren suku bunga rendah di negara maju dan kebijakan moneter ekstra longgar menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi nasional. Imbal hasil (yield) Indonesia rata-rata di level 3,6% atau masih lebih menarik dari dengan negara berkembang lain yang memiliki rating investment grade.
Era suku bunga rendah membuat banyak obligasi di dunia mengalami penurunan imbal hasil hingga ke zona negatif. Saat ini, menurut catatan Manulife Asset Management Indonesia, sekitar US$ 17 triliun atau 27% dari total obligasi investment grade masuk dalam zona imbal hasil negatif, level tertinggi dalam sejarah.
Tidak heran, investor global pun terdorong untuk berinvestasi di instrumen yang menawarkan tingkat imbal hasil lebih atau dapat memberikan keuntungan yang meyakinkan seperti saham dan obligasi negara berkembang.
Mengutip UBS, pasar modal negara berkembang yang tumbuh pesat (emerging market) masih menarik jika dibandingkan dengan negara maju, sehingga mereka menilai aset berbasis rupiah masih menarik untuk dikoleksi pemodal global.
"Emerging market berada di posisi yang baik untuk mendapatkan manfaat dari pemulihan siklikal. Mereka juga akan mendapatkan manfaat dari berlanjutnya kondisi likuiditas yang berlimpah, kenaikan harga komoditas, dan pelemahan dolar AS," demikian tulis UBS dalam laporan berjudul "Reflation Paves Way for Further Upside in EMs."
Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun (yang menjadi acuan pasar) turun melewati level psikologis 6% tahun ini, sehingga masih memberikan potensi kenaikan bagi investasi di pasar obligasi.
Di tengah kondisi demikian, pasar modal nasional mendapatkan berkah khusus dengan meningkatnya jumlah pemodal ritel, di tengah pertumbuhan dana cair masyarakat karena konsumsi mereka yang terhambat selama pandemi.
Namun pada periode yang sama, jumlah investor di pasar modal baik investor saham, obligasi, maupun reksadana, mengalami peningkatan sebesar 56% mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID). Jumlah ini 4 kali lipat dari angka 4 tahun lalu (2016) sebanyak 894.000.
Untuk investor saham sendiri, ada kenaikan jumlah sebesar 53% menjadi sejumlah 1,68 juta SID. Jika dilihat dari jumlah investor aktif (daily trader), hingga 29 Desember 2020 terdapat 94.000 investor atau naik 73% jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu.
Hal ini mengindikasikan bahwa para pemilik dana tengah mengerem konsumsi mereka, dan menempatkannya pada tabungan bank dan juga investasi. Tren tersebut berpeluang berlanjut berlipat kali jika skenario bullish sebagaimana proyeksi kami mencapai realisasinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags)[Gambas:Video CNBC]