CAPITAL MARKET OUTLOOK

Serbuan Pemodal Ritel di Tahun Pemulihan Pasar Modal

Arif Gunawan & Tri Putra & Putu Agus, CNBC Indonesia
22 February 2021 15:32
Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi IHSG (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 diyakini bakal menjadi tahun pemulihan, menyusul dimulainya vaksinasi di berbagai belahan dunia. Pasar modal nasional pun berpeluang kian bergairah, terutama di tengah suntikan likuiditas di pasar.

Sebagai bagian dari pemulihan, berbagai negara telah menyuntikkan stimulus, yang diharapkan menjadi obat kuat untuk menggulirkan perekonomian ketika pembatasan sosial menghambat pergerakan manusia dan juga aktivitas perekonomian.

Selama tahun lalu, pasar modal tertekan besar-besaran dengan koreksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5,09% menjadi 5.979,073. Ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang terkontraksi sebesar -2,07%.


Untuk tahun ini, pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi akan kembali ke level pra-pandemi, sebesar 5%. Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) agak bersepakat, dengan mematok proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%.

Di tengah proyeksi demikian, Tim Riset CNBC Indonesia memprediksi akhir tahun ini IHSG bisa menembus level 6.700 atau melewati level tertinggi sepanjang masanya di angka 6.693. Dengan demikian, masih ada 400 poin kenaikan yang bakal menanti dalam 10 bulan ini.

Setidaknya ada lima katalis positif yang menurut hemat kami bakal mendorong kebangkitan pasar modal dalam negeri ke level all time high (ATH). Pertama, tentunya era suku bunga rendah yang masih akan berlangsung di mana Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuan ke level terendah sepanjang sejarahnya pada 3,5%.

Dengan dipangkasnya suku bunga, toleransi investor terhadap rasio harga dengan laba perusahaan (price to earning ratio/PE) tentunya akan meningkat, karena investasi di instrumen lain menjadi kurang menarik.

Rasio PE IHSG saat ini berada di kisaran 21,53 kali yang masih tergolong murah dengan asumsi suku bunga acuan 3,5% sehingga batas toleransi P/E wajar non (compounded annual growth rate/CAGR) investor adalah sebesar 28,5 kali.

Selanjutnya, pemangkasan suku bunga acuan tentu saja juga akan menguntungkan sektor finansial yang menjadi tulang punggung indeks. Perbankan juga diuntungkan dari penghapusan PPnBM mobil di bawah 1.500 cc serta pembebasan uang muka atau (down payment/DP) bagi Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Harapan terakhir muncul dari vaksinasi massal yang sudah dilangsungkan di Indonesia, karena pangkal persoalan perekonomian yang menekan pasar modal memang berakar dari faktor fundamental terkait keberadaan pandemi.

Berbeda dari pasar modal negara maju, pasar modal nasional bakal mendapatkan berkah tambahan dari terjadinya siklus commodity supercycle di mana harga-harga komoditas akan melesat karena permintaan melonjak sementara pasokan masih terbatas akibat efek corona.

Profesor ekonomi terapan di John Hopkins University, Steve Hanke, dalam wawancara dengan Kitco, pada Selasa (22/12/2020), mengatakan komoditas termasuk emas akan memasuki fase supercycle tersebut pada tahun 2021 mendatang.

"Supply sangat terbatas, stok rendah, dan ekonomi mulai bangkit dan maju ke depan, harga komoditas akan naik dan memulai supercycle. Saya pikir saat ini kita sudah melihat tanda awalnya," kata Hanke, sebagaimana dilansir Kitco.

Indeks saham sektor komoditas dan juga rupiah akan diuntungkan dari kondisi tersebut. Oleh karenanya, kami memperkirakan Mata Uang Garuda akan bertolak dari titik penentu, pada level Rp 13.900/US$.

Potensi penguatan rupiah masih terlihat dari pola death cross (perpotongan) rerata pergerakan 50 hari (moving average/MA 50), 100 hari (MA 100), dan 200 hari (MA 200). Death cross terjadi tatkala MA 50 memotong dari atas ke bawah MA 100 dan 200.

Death cross menjadi sinyal suatu aset akan berlanjut turun. Dalam hal ini USD terhadap IDR, yang artinya rupiah berpotensi menguat lebih jauh. Jika mampu menembus dan bertahan di bawah Rp 13.900/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 13.565/US$ (level terkuat 2020).

Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang penguatan menuju Rp 13.300/US$ hingga Rp 13.150/US$ di tahun 2021. Sementara itu, selama tertahan di atas Rp 14.000/US$, rupiah berisiko melemah dengan resisten kuat di Rp 14.600/US$.

Dolar AS secara fundamental memang dalam tren pelemahan menyusul kondisi banjir likuiditas di AS. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mengumumkan program pembelian aset (quantitative easing/QE) masih akan dijaga sampai pasar tenaga kerja AS kembali normal.

Artinya, kebijakan moneter ultra longgar masih akan dipertahankan dalam waktu yang lama. The Fed juga menegaskan akan menambah nilai QE jika perekonomian AS kembali melambat. Di sisi lain, Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan bahwa paket stimulus US$ 1,9 triliun bakal direalisasikan meski bakal berujung pada penambahan inflasi di atas 2%.

Di tengah kelebihan likuiditas di negara maju, Omnibus Law akan menjadi kunci yang menarikinvestasi asing di Indonesia terutama di sektor riil. Pelurusan aturan yang tumpang tindih dan karpet merah yang digelar bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia akan mempercepat pemulihan ekonomiIndonesia dan secara psikologis berdampak positif di pasar modal.

Tren suku bunga rendah di negara maju dan kebijakan moneter ekstra longgar menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi nasional. Imbal hasil (yield) Indonesia rata-rata di level 3,6% atau masih lebih menarik dari dengan negara berkembang lain yang memiliki rating investment grade.

Era suku bunga rendah membuat banyak obligasi di dunia mengalami penurunan imbal hasil hingga ke zona negatif. Saat ini, menurut catatan Manulife Asset Management Indonesia, sekitar US$ 17 triliun atau 27% dari total obligasi investment grade masuk dalam zona imbal hasil negatif, level tertinggi dalam sejarah.

Tidak heran, investor global pun terdorong untuk berinvestasi di instrumen yang menawarkan tingkat imbal hasil lebih atau dapat memberikan keuntungan yang meyakinkan seperti saham dan obligasi negara berkembang.

Mengutip UBS, pasar modal negara berkembang yang tumbuh pesat (emerging market) masih menarik jika dibandingkan dengan negara maju, sehingga mereka menilai aset berbasis rupiah masih menarik untuk dikoleksi pemodal global.

"Emerging market berada di posisi yang baik untuk mendapatkan manfaat dari pemulihan siklikal. Mereka juga akan mendapatkan manfaat dari berlanjutnya kondisi likuiditas yang berlimpah, kenaikan harga komoditas, dan pelemahan dolar AS," demikian tulis UBS dalam laporan berjudul "Reflation Paves Way for Further Upside in EMs." 

Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun (yang menjadi acuan pasar) turun melewati level psikologis 6% tahun ini, sehingga masih memberikan potensi kenaikan bagi investasi di pasar obligasi.

Di tengah kondisi demikian, pasar modal nasional mendapatkan berkah khusus dengan meningkatnya jumlah pemodal ritel, di tengah pertumbuhan dana cair masyarakat karena konsumsi mereka yang terhambat selama pandemi.

Namun pada periode yang sama, jumlah investor di pasar modal baik investor saham, obligasi, maupun reksadana, mengalami peningkatan sebesar 56% mencapai 3,87 juta Single Investor Identification (SID). Jumlah ini 4 kali lipat dari angka 4 tahun lalu (2016) sebanyak 894.000.

Untuk investor saham sendiri, ada kenaikan jumlah sebesar 53% menjadi sejumlah 1,68 juta SID. Jika dilihat dari jumlah investor aktif (daily trader), hingga 29 Desember 2020 terdapat 94.000 investor atau naik 73% jika dibandingkan dengan akhir tahun lalu.

Hal ini mengindikasikan bahwa para pemilik dana tengah mengerem konsumsi mereka, dan menempatkannya pada tabungan bank dan juga investasi. Tren tersebut berpeluang berlanjut berlipat kali jika skenario bullish sebagaimana proyeksi kami mencapai realisasinya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular