
Bisakah Rupiah Kembali ke Bawah Rp 14.000/US$ Pekan Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah 0,64% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.060/US$ sepanjang pekan lalu. Rupiah sekali lagi membuktikan tidak mampu bertahan lama di bawah level psikologis Rp 14.000/US$.
Sebelumnya, di awal tahun ini rupiah menembus Rp 14.000/US$, bahkan mencapai Rp 13.885/US$ pada 4 Januari lalu. Tetapi 5 hari perdagangan setelahnya kembali ke atas Rp 14.000/US$.
Rupiah berhasil menembus lagi level psikologis tersebut pada 21 Januari lalu, tetapi hanya berumur sehari saja. Mata Uang Garuda kembali ke bawah Rp 14.000/US$ pada 8 Februari lalu, lagi-lagi bertahan hanya 5 hari perdagangan, Rabu lalu sudah berada di atas level psikologis tersebut.
Tekanan bagi rupiah datang dari dalam negeri. Pada Kamis (18/2/2021) Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Februari. Gubernur Perry Warjiyo dan kolega memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan.
"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 17-18 Februari 2021 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," kata Perry usai RDG, Kamis (18/2/2021).
Selain itu, BI juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini menjadi 4,3% sampai 5,3% dari sebelumnya 4,8% sampai 5,8%.
Penurunan proyeksi tersebut dikarenakan rendahnya realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2020. Sehingga secara keseluruhan tahun 2020 terjadi kontraksi ekonomi sebesar 2,07%.
Penurunan suku bunga dapat membuat imbal hasil berinvestasi di Indonesia dengan di AS menjadi menyempit yang membuat rupiah kurang menarik. Apalagi dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi yang dipangkas tentunya memberikan tekanan bagi rupiah.
Sementara Jumat (19/2/2021), BI merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal IV-2020 sekaligus keseluruhan 2020. NPI terdiri dari 2 pos yakni transaksi berjalan dan transaksi modal & finansial.
Pada kuartal IV-2020, transaksi berjalan (current account) membukukan surplus US$ 0,8 miliar atau setara 0,3% dari Produk Domestik Bruto. Lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu surplus US$ 1 miliar atau 0,4% PDB.
Surplus transaksi berjalan yang berperan besar dalam mempengaruhi pergerakan rupiah, sebab menggambarkan arus devisa yang lebih stabil. Kala transaksi berjalan surplus, maka rupiah punya modal untuk menguat, begitu juga sebaliknya ketika defisit akan menjadi sentimen negatif bagi Mata Uang Garuda.
Namun, penurunan tersebut sebenarnya sudah diprediksi, ketika perekonomian Indonesia mulai pulih dan impor mulai deras, maka surplus akan terpangkas bahkan bisa kembali mengalami defisit.
BI sendiri memprediksi di tahun 2021 transaksi berjalan akan kembali mengalami defisit 1,2% dari PDB.
Sementara transaksi modal dan finansial mencatat defisit US$ 0,9. Dengan demikian, NPI pada kuartal IV-2020 dalam posisi defisit US$ 0,2 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang surplus US$ 2,1 miliar.
Pelemahan rupiah terjadi saat dolar AS juga dalam kondisi kurang bagus akibat ekspektasi cairnya stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun dalam beberapa pekan ke depan.
Ketika stimulus tersebut cair, maka jumlah uang yang beredar di perekonomian AS akan bertambah, dan secara teori dolar AS akan melemah.
Selain itu dolar AS juga tertekan pasca rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed).
Dalam notula tersebut, kembali ditegaskan penguaran nilai program pembelian aset (quantitative easing/QE) atau yang dikenal dengan nama "tapering", belum akan dilakukan di tahun ini. Tapering merupakan salah satu hal yang ditakutkan, sebab berkaca dari pengalaman sebelumnya memicu penguatan dolar AS. Dengan ditegaskannya tidak ada tapering, maka dolar AS masih dalam tekanan.
Namun, yang patut diwaspadai pekan ini adalah kenaikan yield obligasi (Treasury AS), yang mencapai level tertinggi dalam 1 tahun terakhir.
Yield Treasury AS tenor 10 tahun sepanjang pekan lalu naik 14,5 bp menjadi 1,345%. Level tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari tahun lalu, atau sebelum virus corona dinyatakan sebagai pandemi.
Kenaikan yield Treasury tersebut tentunya membuat obligasi (Surat Berharga Negara/SBN) kurang menarik, sebab selisihnya semakin menyempit, apalagi dengan BI yang kembali memangkas suku bunga tentunya yield SBN akan terus menurun. Sebagai aset negara emerging market, SBN perlu yield yang tinggi untuk menarik investor.
Ketika selisih yield semakin menyempit, maka risiko capital outflow semakin meningkat dari pasar obligasi dalam negeri, yang dapat menekan rupiah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Pola Death Cross Berakhir, Rupiah Sulit Tembus Rp 14.000/US$ Lagi
