
Ada SWF Jangan Gelap Mata Beli Saham Konstruksi, Cek Valuasi!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelantikan jajaran direksi Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau Indonesia Investment Authority (INA) oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemarin (16/2/2021) menjadi katalis positif bagi saham emiten konstruksi, terutama emiten BUMN.
INA diyakini akan membantu menyelesaikan persoalan keuangan emiten konstruksi yang saat ini memiliki utang (leverage) yang tinggi. INA akan menjadi sumber pembiayaan baru bagi emiten konstruksi pelat merah.
Lantas bagaimana dengan rasio harga emiten konstruksi BUMN saat ini? Mana emiten yang paling murah?
Untuk melihat rasio harga Tim Riset CNBC Indonesia memakai tiga 'senjata' yakni Price Earning Ratio (PER), Price to book value (PBV), dan Debt to Equity Ratio (DER) yang biasa digunakan sebagai analisis fundamental untuk menilai saham suatu emiten.
PER merupakan metode valuasi yang membandingkan laba bersih per saham dengan harga pasarnya.
Semakin rendah PER maka biasanya perusahaan juga akan dianggap semakin murah. PER biasanya akan dianggap murah apabila rasio ini berada di bawah angka 10 kali.
Sementara PBV adalah metode valuasi yang membandingkan harga saham suatu emiten dengan nilai bukunya.
Semakin rendah PBV, biasanya perusahaan akan dinilai semakin murah. Secara Rule of Thumb, PBV akan dianggap murah apabila rasionya berada di bawah angka 1 kali.
DER digunakan untuk melihat kemampuan emiten untuk memenuhi utang/liabilitasnya.
Cara mengetahuinya adalah dengan menghitung rasio antara jumlah utang emiten terhadap jumlah ekuitas yang dimilikinya.
Menurut konsensus, biasanya DER yang wajar berada di bawah angka 1 atau di bawah angka 100%. Artinya, nilai utang dan ekuitas, minimal harus seimbang agar arus kas perusahaan sehat dan tidak terbebani oleh pembayaran cicilan utang.
Ada tujuh emiten BUMN karya yang dianalisis, yakni PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT PP Tbk (PTPP), PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Wijaya Karya Bangunan Gedung Tbk (WEGE), PT Wijaya Karya Beton Tbk (WTON), dan PT Jasa Marga Tbk (JSMR).
- Data BEI pada Selasa mencatat (16/2/2021), ADHI memiliki PER sebesar 264,74 kali. Valuasi sudah relatif mahal jika mengacu rule of thumb PER yang di bawah 10 kali. Tapi ADHI memiliki PBV kecil di antara emiten BUMN pelat merah lainnya, yakni 0,98 kali. Dan patut menjadi perhatian, DER emiten yang membangun LRT Ini sudah 574,59% atau 5 kali lebih.
- Saham PTPP diperdagangkan dengan PER yang tinggi, yakni 320,08 kali. Untuk PBV, PTPP tergolong wajar, 1,03 kali. DER PTPP lebih rendah dari ADHI, yakni 363,89%
- WSKT memiliki PER yang negatif, -6,20 kali. PER negatif menandakan emiten sedang. mengalami rugi bersih. PBV emiten pembuat jalan tol ini sebesar 1,63 kali. DER WSKT tercatat yang tertinggi di antara emiten konstruksi pelat merah lainnya, sebesar 688,34%.
- WIKA mencatatkan PER sebesar 268,07 kali dengan PBV 1,33 kali. WIKA memiliki DER 334,67%.
- WEGE memiliki PER terendah di antara emiten BUMN karya lainnya, yakni 13,71 kali. PBV WEGE tergolong wajar, yakni 1,12 kali. Anak usaha WIKA ini mencatatkan DER sebesar 156,97%.
- WTON mencatatkan PER 44,99 kali. PBV anak usaha WIKA ini tergolong ideal, yakni 1,01 kali. WTON memiliki DER 187,77%.
- JSMR tercatat memiliki PER 157,15 kali dengan PBV 1,75 kali. Emiten pengelola jalan tol ini memiliki DER 421,36%.
