Megaskandal Asabri

Terkuak! Modus Asabri-Jiwasraya Saat Kejeblos Saham Gorengan

Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
17 February 2021 07:10
Leonard Eben Ezer/ Kejagung
Foto: Leonard Eben Ezer/ Kejagung

Jakarta, CNBC Indonesia - Duo perusahaan asuransi pelat merah (BUMN) PT Asabri (Persero) dan PT Asuransi Jiwasraya (AJS) dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah merugikan negara hampir Rp 40 triliun. Nilai yang sangat fantastis dalam sejarah pengelolaan keuangan BUMN.

Untuk Asabri nilai kerugian negara sementara diprediksi Rp 23 triliun, sementara Jiwasraya sebesar Rp 16,8 triliun.

Bagaimana bisa suatu perusahaan asuransi bisa merugikan negara sampai sebanyak itu?

Tentu bisa!

Kesalahannya terletak pada tata kelola investasi dan risiko yang dilakukan oleh institusi keuangan yang melayani nasabah TNI, Polri, PNS Kementerian Pertahanan (Asabri) serta nasabah umum (Jiwasraya) tersebut.

Secara sederhana, model bisnis perusahaan asuransi adalah menghimpun dana dari nasabah dalam bentuk premi dan memutarnya ke aset-aset keuangan seperti saham, obligasi, pasar uang, reksa dana hingga kontrak investasi kolektif atau investasi lain guna mendapatkan untung.

Selain keuntungan dari investasi yang dilakukan, perusahaan asuransi juga bisa mendapatkan laba dari selisih premi dengan klaim yang dibayarkan atau umum disebut sebagai underwriting profit.

Keberhasilan perusahaan asuransi untuk mendapatkan untung sangat terletak pada manajemen risiko baik terhadap premi yang dibayarkan maupun investasi yang dilakukan.

Sayang baik Asabri dan AJS bukannya berhati-hati dalam berinvestasi tetapi justru 'ugal-ugalan'.

Sejatinya misi investasi di tubuh AJS dan Asabri agak sama tetapi memiliki beberapa perbedaan, kemiripan keduanya terjadi tentu saja dari dana yang diinvestasikan di saham-saham dengan fundamental dipertanyakan alias saham gorengan. Sebagian besar saham-saham yang diinvestasikan sudah jatuh ke harga terendah Rp 50/saham, alias gocap.

Bahkan banyak saham-saham yang dimiliki oleh AJS juga dimiliki oleh Asabri!

Hal yang lebih mengagetkan adalah, saham-saham tersebut terafiliasi dengan Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro (Bentjok) yang aset keduanya disita serta mereka divonis mendekam di dalam bui dengan status sebagai terdakwa untuk kasus Jiwasraya dan status tersangka untuk kasus Asabri.

Hal ini terjadi karena adanya kerja sama antara Heru dan Benny dengan AJS maupun Asabri dalam mengelola investasi kedua BUMN tersebut, sebagaimana disebutkan oleh persidangan Jiwasraya dan pernyataan Kejagung.

Heru divonis penjara seumur hidup dalam kasus korupsi Jiwasraya dan dijatuhi hukuman uang pengganti kerugian negara senilai Rp 10,72 triliun kepada Heru.

Sementara Bentjok juga pidana pidana penjara seumur hidup dan hukuman uang pengganti kerugian negara senilai Rp 6,078 triliun untuk kasus Jiwasraya. Artinya total uang pengganti Bentjok dan Heru mencapai Rp 16,8 triliun, sama dengan potensi kerugian negara di JIwasraya yang dihitung BPK.

NEXT: Modus investasi saham gorengan

Selain memegang langsung saham-saham berfundamental rendah, AJS dan Asabri juga berinvestasi di reksa dana dengan aset yang mendasari (underlying aset) berupa saham gorengan, bahkan biasanya reksa dana ini hanya memiliki single buyer yakni AJS atau Asabri.

Bedanya porsi portofolio reksa dana gorengan AJS lebih tinggi dibandingkan dengan Asabri secara persentase yakni 59,1% ditempatkan di reksa dana, di mana 98% dari reksa dana tersebut merupakan reksa dana yang tidak dikelola oleh manajer investasi (MI) yang andal.

Sedangkan porsi saham AJS berada di kisaran 22,4% di mana 95% dari sahamnya ditempatkan di saham non LQ45 (indeks berisi 45 saham likuid).

Untuk investasi Asabri, porsi investasi di reksa dana sebesar 24% dan saham sebesar 14,53%.

Berdasarkan penjelasan Kejagung, modus Asabri dilakukan dengan membeli atau menukar saham dalam portofolio Asabri dengan saham-saham milik Heru, Benny dan satu pihak lainnya yakni LP yang merupakan Direktur Utama PT Prima Jaringan yang bukan merupakan konsultan investasi ataupun MI.

LP yang menjadi satu dari 9 tersangka Asabri adalah mengacu pada nama Lukman Purnomosidi, Presiden Direktur PT Prima Jaringan dan sekaligus Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP).

Penempatan dana ke saham-saham milik ketiga pihak ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.

Setelah saham-saham ini masuk sebagai portofolio Asabri, kemudian ditransaksikan dan dikendalikan oleh ketiga orang tersebut. Sebab, berdasarkan kesepakatan saham tersebut harus terlihat likuid dan bernilai tinggi.

Saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai transaksi dengan cara melakukan transaksi semu yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.

Ketika harga sahamnya turun, Asabri tidak dapat menjual sahamnya karena akan menimbulkan kerugian sehingga pihak Benny dan Heru terpaksa menyiapkan nominee untuk membeli di harga atas dan kemudian dibuatkan reksa dana dengan underlying asset saham dengan fundamental dipertanyakan itu untuk kemudian dibeli oleh Asabri.

Setelah saham-saham berfundamental tersebut menjadi milik Asabri, kemudian saham-saham tersebut ditransaksikan atau dikendalikan oleh pihak HH (Heru Hidayat), Bentjok, dan LP berdasarkan kesepakatan bersama dengan Direksi Asabri.

"Sehingga seolah-olah saham tersebut bernilai tinggi dan likuid, padahal transaksi-transaksi yang dilakukan hanya transaksi semu dan menguntungkan pihak HH, BTS dan LP serta merugikan investasi atau keuangan Asabri karena Asabri menjual saham-saham dalam portofolionya dengan harga di bawah harga perolehan saham-saham tersebut," tulis keterangan resmi Kejagung.

Di Jiwasraya pun demikian. Modusnya dilakukan dengan cara saham yang overprice (kemahalan), dibeli oleh Jiwasraya, kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada perusahaan manajer investasi (MI) untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.

"Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dominan pada saham dan reksa dana saham yang underlying asset-nya sama dengan portofolio saham langsung," tulis dokumen Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diterima CNBC Indonesia.

Itulah sekilas cerita tentang bagaimana bisa asuransi pelat merah yang diharapkan untung dan menjadi institusi yang andal justru jatuh akibat tata kelola investasi yang tidak prudent.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular