Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah mampu mempertahankan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang perdagangan Senin (15/2/2021), bahkan sempat menembus level Rp 13.800-an/US$.
Dolar AS yang sedang lesu, serta data ekonomi dari dalam negeri yang cukup bagus membuat rupiah perkasa pada hari ini.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat 0,14% ke Rp 13.950/US$. Rupiah tidak sempat masuk ke zona merah, malahan penguatan semakin terakselerasi hingga 0,57% ke Rp 13.890/US$. Level tersebut merupakan yang terkuat sejak 7 Januari lalu.
Penguatan rupiah sedikit mengendur, dan mengakhiri perdagangan di level Rp 13.910/US$, menguat 0,43% di pasar spot.
Berkat penguatan tersebut, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik di Asia. Mayoritas mata uang utama menguat hari ini, hingga pukul 15:09 WIB, hanya yen Jepang dan rupee India yang mengalami pelemahan.
Berikut pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Asia.
Lesunya dolar AS menjadi pemicu utama penguatan rupiah. Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan the greenback, hingga sore ini melemah 0,21% ke 90,286, sementara sepanjang pekan lalu jeblok 0,62%.
Tanda-tanda melambatnya pemulihan ekonomi AS membuat dolar AS tertekan. Jumlah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 6 Februari tercatat sebanyak 793.000 klaim, masih lebih tinggi dari prediksi Reuters sebanyak 747.000 klaim.
Selain itu, sentimen konsumen juga menunjukkan penurunan menjadi 76,2 di bulan ini, dari bulan sebelumnya 79, dan menjadi yang terendah sejak Agustus 2020 lalu.
"Sentimen konsumen bergerak turun pada Februari 2021, terutama di sisi ekspektasi penghasilan bagi keluarga berpendapatan di bawah US$ 75.000/tahun. Hanya sedikit rumah tangga di kelompok pendapatan ini mengaku memperoleh kenaikan penghasilan. Meski kabar stimulus fiskal berhembus kencang, tetapi konsumen lebih pesimistis dalam memandang prospek perekonomian," sebut keterangan tertulis University of Michigan.
Dengan rilis data yang menunjukkan pelambatan pemulihan ekonomi tersebut, alasan pemerintah AS untuk segera menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 1,9 triliun semakin menguat.
Saat stimulus cair, maka jumlah uang beredar di perekonomian AS akan semakin meningkat, secara teori dolar AS akan melemah.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Neraca Dagang RI Surplus, Fokus Tertuju ke BI
Sementara itu dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2020 mencatat surplus. Impor masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sementara ekspor tumbuh cukup tinggi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia pada Januari 2020 mencatat surplus. Impor masih mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sementara ekspor tumbuh cukup tinggi.
Kepala BPS Suhariyanto melaporkan nilai impor bulan lalu adalah US$ 13,34 miliar. Turun 6,49% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Dengan nilai ekspor yang sebesar US$ 15,3 miliar, maka neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 1,96 miliar. Surplus neraca perdagangan sudah terjadi selama sembilan bulan beruntun.
"Terjadi penurunan impor migas 21,9% YoY dan barang non-migas sebesar 4% YoY. Ekspor naik bagus, impor masih kontraksi 6,49% YoY," kata Kecuk, sapaan akrab Suhariyanto.
Dengan neraca dagang yang masih membukukan surplus, transaksi berjalan (current account) kemungkinan juga masih akan surplus di kuartal I-2021. Surplus transaksi berjalan tersebut akan menjadi modal bagi rupiah untuk menguat.
Meski demikian, fokus di pekan ini tertuju ke Bank Indonesia (BI). Ada sinyal kemungkinan BI akan kembali memangkas suku bunga. Artinya jika benar dipangkas, spread suku bunga dengan The Fed akan menipis, hal tersebut tentunya tidak akan menguntungkan rupiah, sehingga kemungkinan besar rupiah masih akan berada di atas Rp 14.000/US$.
Gubernur BI Perry Warijyo memberi petunjuk mengenai arah kebijakan moneter ke depan. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, orang nomor satu di MH Thamrin itu menyiratkan kekecewaan terhadap kinerja perekonomian nasional.
Pada kuartal IV-2020, ekonomi Indonesia tumbuh -2,19% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. BI sempat memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Tanah Air bisa tumbuh positif pada kuartal pamungkas tahun lalu.
"Sejujurnya ini di bawah ekspektasi. Memang arahnya ada perbaikan, tetapi tidak secepat yang kami perkirakan," tutur Perry, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Oleh karena itu, Perry mengungkapkan bahwa bank sentral membuka peluang untuk menurunkan suku bunga acuan demi mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun apakah ruang itu akan dimanfaatkan atau tidak, tergantung dinamika nilai tukar rupiah.
Untuk saat ini, nilai tukar rupiah cenderung bergerak stabil melawan dolar AS.
"Jika ditanya apakah kami punya ruang untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut, kami punya ruang. Namun kami akan melihat berbagai kemungkinan, termasuk menjaga stabilitas khususnya stabilitas nilai tukar rupiah dan bagaimana kami bisa lebih efektif dalam membantu pemulihan ekonomi," jelas Perry.
Saat ini BI 7 Day Reverse Repo Rate ada di 3,75%. BI akan mengumumkan hasil rapat kebijakan moneter pada Kamis (18/2/2021).
TIM RISET CNBC INDONESIA